Ancaman kematian mendadak atau sudden cardiac death jadi isu serius di dunia kardiologi Indonesia. Konsultan Senior Elektrofisiologi dan Terapi Alat, Dr. dr. M. Yamin, Sp.JP(K), mengingatkan fenomena ini bukan lagi sesuatu yang langka dan meminta masyarakat selalu waspada.
"Mati mendadak itu salah satu red flag yang harus diwaspadai. Banyak kasus terjadi pada orang yang satu jam sebelumnya terlihat sehat-sehat saja, lalu tiba-tiba collapse," ujar dr. Yamin, dalam BraveHeart Cardiac Forum Jakarta 2025 di Grand Ballroom Four Seasons, Selasa (18/11/2025).
Sebagai informasi, BraveHeart merupakan pusat layanan jantung Brawijaya Hospital Group dan memiliki visi ke depan untuk menjadi salah satu layanan jantung terkemuka di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam forum tersebut, ia turut memaparkan sejumlah penyebab kematian mendadak yang paling umum terjadi. Mulai dari penyakit jantung koroner yang mampu memicu serangan jantung hanya dalam hitungan menit, hingga kelainan otot jantung yang membesar atau melemah seperti kardiomiopati.
"Penyakit mati mendadak yang paling sering adalah penyakit jantung koroner. Serangan bisa terjadi kapan saja, bahkan tanpa gejala sebelumnya," tegasnya.
Ia juga menyoroti gangguan kelistrikan jantung, termasuk Brugada Syndrome dan Long QT Syndrome, yang kerap tak terdeteksi, tetapi berpotensi mematikan.
Menurut dr. Yamin, kasus tersebut sering tidak terdeteksi karena pasien terlihat sehat secara fisik.
"Ini penyakit yang diam-diam. Banyak anak muda datang tanpa keluhan, tapi irama listrik jantungnya berbahaya. Kalau tidak diperiksa, kita tidak tahu," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa faktor genetik, kondisi otot jantung, hingga kelainan listrik jantung harus diperhatikan secara serius.
"Brugada itu banyak dipengaruhi genetik. Jadi kalau ada keluarga yang meninggal mendadak, kita wajib curiga. Pemeriksaan dini bisa menyelamatkan nyawa," tegasnya.
Tak hanya itu, dr. Yamin menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin yang menggabungkan otak, pembuluh darah, dan jantung.
"Jantung itu harus didekati secara kolektif. Ada kolaborasi, ada integrasi, mulai dari kardiolog, ahli bedah, dan sebagainya. Itu kunci," jelasnya.
dr. Yamin menjelaskan deteksi dini menjadi faktor penentu untuk menekan angka kematian mendadak. Ia menekankan pentingnya medical history seperti riwayat keluarga.
"Kita tidak boleh anggap enteng. Kalau ada keluarga yang meninggal mendadak, itu harus jadi alarm," ujarnya.
Foto: Renaldi Saputra/detikcom |
Ia juga menjelaskan perlunya pemeriksaan seperti echocardiography, tes provokasi elektrofisiologi, hingga penggunaan Holter monitor yang kini semakin modern dan nyaman digunakan pasien.
"Holter sekarang sudah patient-friendly. Bisa dipakai berenang, mandi, bahkan sampai berhari-hari untuk mendeteksi irama jantung yang tidak muncul setiap saat," paparnya.
Dalam forum tersebut, dr. Yamin memaparkan dua strategi besar dalam pencegahan kematian mendadak. Pertama adalah secondary prevention, yakni upaya yang ditujukan bagi pasien yang sebelumnya pernah mengalami collapse. Pada tahap ini, teknologi seperti Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) menjadi sangat krusial.
"Kalau sudah pernah collapse dan hidup kembali setelah CPR, itu jelas harus dicegah. ICD adalah jawabannya," tegasnya.
Strategi kedua adalah primary prevention, ditujukan bagi individu yang belum pernah kolaps tetapi memiliki risiko tinggi, misalnya pingsan berulang, kelainan irama jantung, atau memiliki anggota keluarga yang meninggal mendadak. Dalam konteks ini, ia menekankan pentingnya deteksi dini.
"Jangan tunggu collapse. Kalau risikonya jelas, kita pasang ICD. Itu namanya primary prevention," jelasnya.
dr. Yamin juga memperkenalkan teknologi terbaru berupa Subcutaneous ICD, alat yang dipasang di bawah kulit tanpa kabel yang masuk ke dalam jantung. Teknologi ini dinilai lebih aman untuk pasien muda.
Meski teknologi semakin berkembang, tak semua pasien langsung direkomendasikan ICD. Ada kelompok yang berada di area near-term prevention. Artinya tidak cukup indikasi untuk pemasangan alat, tetapi tetap berisiko.
Menutup sesi, dr. Yamin mengingatkan para tenaga kesehatan hingga masyarakat untuk lebih aktif mengenali tanda-tanda kematian mendadak.
"Tugas kita adalah melakukan mitigasi dini. Lifestyle itu nomor satu. Jangan merokok, hindari alkohol, kontrol stres, optimalkan obat," katanya.
"Jangan malas bertanya, apakah ada keluarga yang sudden death. Itu penting. Dan kalau irama jantung tidak normal, jangan tunggu parah-investigasi sekarang," tambahnya.
Brave Heart Cardiac Forum 2025 menjadi momentum untuk kembali menyoroti pentingnya deteksi dini dan pemanfaatan teknologi modern dalam mencegah kematian mendadak. Dengan kolaborasi lintas disiplin dan edukasi yang tepat, ancaman ini bukan sesuatu yang tak bisa dicegah.
Tonton juga video "Waspada! Radang Tenggorokan pada Anak Bisa Picu Penyakit Jantung"
(akn/ega)











































