Mantan Direktur Manajemen Risiko PT Pertamina International Shipping (PT PIS), Muhamad Resa, mengaku pernah diminta menghilangkan handphone (HP) dan menghapus chat percakapan WhatsApp. Resa mengaku mengikuti permintaan itu karena merasa takut.
Hal itu disampaikan Resa saat dihadirkan jaksa menjadi saksi kasus korupsi tata kelola minyak mentah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2025). Terdakwa dalam sidang ini adalah:
- Agus Purwono selaku eks VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
- Yoki Firnandi selaku eks Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Muhamad Kerry Adrianto Riza selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
- Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim
- Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
- Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku eks Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebelum saya menanyakan bukti chat ini, ini kan bukti chat ini diperoleh dari HP Saudara, menurut keterangan Saudara di BAP (berita acara pemeriksaan) itu pernah diminta oleh siapa untuk dihapus bukti-bukti percakapan dengan Dimas?" tanya jaksa.
"Pada waktu itu saya sebelum saya berangkat dinas ke Eropa waktu itu, saya diminta menghilangkan HP saya, termasuk juga percakapan di dalamnya, kurang lebih gitu, Pak," jawab Resa.
Resa mengaku diminta tersangka Arief Sukmara selaku Direktur Gas, Petrokimia & Bisnis Baru PT Pertamina International Shipping untuk menghapus chat dengan terdakwa Dimas Werhaspati. Dia mengatakan permintaan itu disampaikan Arief sebelum ada panggilan pemeriksaan kepadanya dari Kejaksaan Agung RI.
"Jadi ada permintaan Pak Arief Sukmara sebelum pemeriksaan di Kejaksaan untuk menghapus chat-chat dengan Pak Dimas, seperti itu?" tanya jaksa.
"Waktu itu sama sekali belum ada panggilan dan lain-lain sebagainya, Pak, belum ada," jawab Resa.
Resa mengaku takut sehingga mengikuti permintaan Arief tersebut. Dia mengatakan tak pernah menghapus chat WhatsApp sejak 2020.
"Saudara tanya kenapa harus dihapus percakapan dengan Dimas ini?" tanya jaksa.
"Saya terus terang waktu itu dalam kondisi serba takut, Pak, serba ini juga, sehingga ya saya berpikir, haduh apakah memang, dan saya belum pernah menghapus data sebelumnya dari tahun 2020 pun juga ada terus, Pak, ini saya. Tapi, karena memang ada faktor takut juga, kemudian ada faktor permintaan kayak gitu dan saya takut kalau misalnya kemudian ada hal yang salah. Jadi saya waktu menskenariokan untuk menghilangkan," jawab Resa.
"Waktu saya taruh di HP saya masih ada capture," jawab Resa.
Resa sempat mengambil screen capture isi percakapan sebelum menghapus chat WhatsApp dengan Dimas tersebut. Jaksa lalu menampilkan screen capture chat antara Dimas dan Resa tertanggal 10 Desember 2022 tersebut.
"Ini percakapan di tanggal 10 Desember 2022, Pak, ini ada 'om punten, ini maaf mengganggu' ini chat Dimas ya?" tanya jaksa.
"Iya, Yang Mulia," jawab Resa.
"Kemudian Saudara respons, 'siap, how can i help?' kemudian 'gue diminta hubungi om ini sama Kang Arsuk'. Maksudnya Dimas diminta Arief Sukmara untuk menghubungi Saudara, betul?" tanya jaksa.
"Kalau berdasarkan pengakuannya itu, itu Pak," jawab Resa.
"Kemudian, 'siap om, gimana om? boleh call sebentar kah om?', 'oke', 'om best offer 5,9 ke PIS PL ya om tapi KPI udah agree di 6,1995. Ada margin 5 persen total om'. Bisa dijelaskan maksud percakapan Saudara dengan Dimas ini?" tanya jaksa.
Resa kemudian memberikan penjelasan maksud percakapan dengan Dimas tersebut. Dia mengatakan ucapan penawaran yang disampaikan Dimas itu terkait dengan Olympic Luna.
"Berdasarkan timeline-nya, Pak, di mana tanggal 7 sudah mulai ada permintaan dari KPI untuk menggunakan FLCC, dan ini dikirimkan tanggal 10 Desember, jamnya ada di situ, maksudnya di jam segitu. Ini kaitannya dengan Olympic Luna tersebut," ujar Resa.
Dalam surat dakwaan, kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 285 triliun. Ada dua hal yang diduga menjadi pokok permasalahan, yaitu terkait impor produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) serta terkait penjualan solar nonsubsidi.
Berikut detail perhitungan kerugian negaranya:
1. Kerugian Keuangan Negara
β’ USD 2.732.816.820,63 atau USD 2,7 miliar atau Rp 45.091.477.539.395 atau Rp 45,1 triliun (Kurs Rp 16.500)
β’ Rp 25.439.881.674.368,30 atau Rp 25,4 triliun
Atau totalnya Rp 70.531.359.213.763,30 (Rp 70,5 triliun)
2. Kerugian Perekonomian Negara
β’ Kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut sebesar Rp 171.997.835.294.293 atau Rp 172 triliun
β’ Keuntungan ilegal yang didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri sebesar USD 2.617.683.340,41 atau USD 2,6 miliar atau Rp 43.191.775.117.765 atau Rp 43,1 triliun (kurs Rp 16.500 ribu)
Atau totalnya Rp 215.189.610.412.058 (Rp 215,1 triliun).
Nah dari kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara maka didapatkan Rp Rp 285.969.625.213.821,30 atau Rp 285 triliun lebih. Namun penghitungan ini menggunakan kurs rata-rata saat ini, tentunya jumlah itu akan berbeda apabila Kejagung menggunakan kurs lain.
Lihat juga Video: Kerugian Negara di Kasus Korupsi Minyak Mentah Capai Rp 285 T











































