Akademisi UTA'45 Nilai Putusan MK soal Aturan Polisi di Jabatan Sipil Tak Tepat

Akademisi UTA'45 Nilai Putusan MK soal Aturan Polisi di Jabatan Sipil Tak Tepat

Wilda Hayatun Nufus - detikNews
Sabtu, 15 Nov 2025 22:12 WIB
Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Ersento Maraden Sitorus, (dok pribadi).
Foto: Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando (dok pribadi).
Jakarta -

Akademisi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Fernando Emas, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait polisi harus mengundurkan diri jika menjabat di luar institusi Polri tidak tepat. Menurut Fernando, putusan itu hanya didasarkan keinginan masyarakat.

"Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan uji materiil terhadap Undang-undang harus mendalami dan memahami secara menyeluruh bukan hanya sekadar mengikuti arus keinginan masyarakat," kata Fernando kepada wartawan, Sabtu (15/11/2025).

"Putusan MK terkait dengan UU Polri tidak tepat karena hanya didasarkan pada keinginan masyarakat," sambungnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fernando mengatakan MK gagal memahami UU Kepolisian Pasal 8 yang dilakukan pascareformasi 1998. Fernando menyoroti ketidakkonsistenan MK antara putusan ini dengan putusan terkait Undang-undang TNI beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

"Mahkamah Konstitusi sepertinya gagal memahami UU Kepolisian pasal 8 dan reformasi yang dilakukan pascareformasi 1998. Namun berbeda ketika menyikapi UU Militer yang diuji ke MK beberapa waktu lalu," ujarnya.

Fernando mengatakan MK harus independen dalam putusannya. Jangan sampai, kata Fernando, putusan itu dipengaruhi oleh tekanan dari pihak lain tetapi mengenyampingkan nalar dan konstitusi.

"Mahkamah Konstitusi harus independen dalam bersikap, jangan dipengaruhi oleh tekanan ataupun pemikiran dari pihak lain tetapi harus berdasarkan pada nalar dan nilai konstitusi yang dianut oleh Indonesia, ujarnya.

"Begitu pula harus didasarkan histori dan tujuan jangka panjang untuk penguatan dan kebutuhan," imbuhnya.

Direktur Rumah Politik Indonesia ini juga mengatakan pembatasan TNI di jabatan sipil merupakan konstitusional yang sejalan dengan reformasi. Sementara, kata Fernando, hal tersebut tidak dapat disamakan dengan Polri.

"Berdasarkan UU bahwa Polri dan militer berbeda, sehingga sangat wajar kalau membatasi militer di jabatan sipil sedangkan polisi termasuk dalam kategori sipil," ujarnya.

"Sehingga wajar kalau Polisi diberikan untuk menempati beberapa posisi jabatan sipil untuk memaksimalkan kinerja dari suatu Kementerian atau lembaga," imbuhnya.

Fernando mendorong Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengatur kembali posisi jabatan sipil dapat diisi anggota polisi aktif. Nantinya, kata Fernando, Perpu itu bisa mengatur beberapa posisi strategis dan penting untuk dapat ditempati oleh anggota Polri karena dibutuhkan sesuai dengan keahliannya.

"Sebaiknya Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Perpu untuk mengatur beberapa posisi strategis dan penting untuk dapat ditempati oleh anggota Polri karena dibutuhkan sesuai dengan keahliannya," ujarnya.

"Namun diberikan pembatasan terkait dengan jumlah dalam suatu kementerian dan lembaga serta jabatan yang bisa diisi oleh anggota Polri," imbuhnya.


Putusan MK

MK mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia atau Polri. Putusan ini membuat polisi harus mengundurkan diri secara pemanen dan tak lagi berstatus anggota aktif Polri jika hendak menjabat di luar institusi Polri.

Putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025). Gugatan itu diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 28 ayat 3 UU Polri itu punya semangat atau substansi yang sama dengan pasal 10 ayat (3) TAP MPR nomor VII/MPR/2000. MK menyatakan kedua ketentuan itu menegaskan anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri.

"Secara substansial, kedua ketentuan tersebut menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Artinya, apabila dipahami dan dimaknai secara tepat dan benar, 'mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian' adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian. Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis dan tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain," ujarnya.

MK mengatakan jabatan yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian. MK menyatakan hal itu dapat diketahui dengan merujuk UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

MK juga mengatakan frasa 'atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri' dalam penjelasan pasal 28 ayat (3) UU Polri tidak memperjelas norma apapun. MK mengatakan frasa itu malah mengakibatkan ketidakjelasan norma. Hal itu membuat MK menghapus frasa tersebut.

"Adanya frasa 'atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri' telah mengaburkan substansi frasa 'setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian' dalam pasal 28 ayat (3) II 2/2002," ujar MK.

Berikut amar putusan lengkap yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo:

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya

2. Menyatakan frasa 'atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri' dalam penjelasan pasal 28 ayat (3) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Ada alasan berbeda dan pendapat berbeda dalam putusan ini dari dua hakim MK, yakni Daniel Yusmic P Foekh dan Guntur Hamzah.

Berikut petitum lengkap pemohon yang dikabulkan seluruhnya oleh MK:

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya

2. Menyatakan bahwa pasal 28 ayat (3) UU nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstutional) sepanjang tidak dimaknai:

'Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri secara permanen dan tidak lagi berstatus sebagai anggota aktif Polri'

3. Menyatakan penjelasan pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

'Bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum mengundurkan diri atau pensiun tidak dapat secara sah menduduki jabatan sipil, termasuk jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia'

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara RI

(whn/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads