Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menegaskan pembangunan ekonomi hijau harus menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Menurutnya, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, namun target tersebut harus dibarengi dengan strategi pembangunan yang ramah lingkungan.
"Pembangunan ekonomi secara berkelanjutan penting sekali bagi kita untuk menjawab sejumlah tantangan krisis iklim yang saat ini sudah kita lihat," ujar Eddy dalam keterangan tertulis, Senin (3/11/2025).
Ia menyoroti berbagai fenomena perubahan iklim yang terjadi, seperti kenaikan suhu global, mencairnya gunung es, hingga bencana banjir di sejumlah daerah termasuk Bali yang untuk pertama kalinya terjadi dalam 70 tahun. Selain itu, kualitas udara di kota-kota besar disebutnya kian memprihatinkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini saatnya kita mengambil aksi nyata. Indonesia perlu memanfaatkan potensi solusi yang tersedia, baik berbasis alam maupun teknologi, untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan," kata Eddy.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini dalam sambutannya pada acara Diskusi Publik MPR RI bersama ACEXI, Iluni UI dan Policy Plus membedah Perpres 110/225, Penguatan Ekosistem Pasar Karbon Nasional, di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Lebih jauh Eddy menjelaskan, Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang dapat menjadi modal besar dalam transisi menuju ekonomi hijau. Dengan luas kawasan kehutanan mencapai 126 juta hektare-terbesar ketiga di dunia-dan 3,3 juta hektare hutan mangrove, Indonesia disebut berkomitmen mengoptimalkan potensi energi baru dan terbarukan.
"Pada 2034 nanti, pembauran energi antara fosil dan energi terbarukan kita diharapkan sudah mencapai 40 persen. Ini merupakan kemajuan yang sangat berarti," jelas Eddy.
Doktor Ilmu Politik UI ini menjelaskan, lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Ekonomi Karbon sebagai tonggak penting dalam penguatan daya saing global dan pembukaan sumber pertumbuhan ekonomi baru.
"Perpres ini menegaskan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam membangun pasar karbon berintegritas tinggi guna mendukung pertumbuhan hijau," katanya.
Menurut Eddy, Perpres tersebut membawa tiga perubahan fundamental dalam kebijakan ekonomi karbon nasional. Pertama, penyelarasan kebijakan karbon dengan aktivitas ekonomi nasional agar pertumbuhan hijau menjadi inti perencanaan pembangunan.
Kedua, penyederhanaan proses bisnis perdagangan karbon, termasuk pengakuan terhadap pasar karbon sukarela (voluntary carbon market). Ketiga, pengakuan terhadap metodologi internasional yang kredibel untuk memastikan akuntabilitas proyek, transparansi, serta manfaat sosial bagi masyarakat lokal.
"Perpres 110 juga menjamin operasional pasar karbon sepanjang tahun dengan prinsip integritas tinggi. Unit karbon dari kegiatan mitigasi akan dihitung untuk pencapaian NDC, kecuali jika ada otorisasi tertentu dari Kementerian Lingkungan Hidup," ujar Eddy.
Eddy berharap pembahasan dan diskusi mengenai pasar karbon dapat terus berlanjut untuk memperkaya pemahaman dan memperkuat tata kelola sektor ekonomi hijau di Indonesia.
"Sebagai rumah kolaborasi, kami sangat terbuka terhadap masukan dan gagasan yang memperkuat transparansi dan integritas nilai ekonomi karbon kita. Ini penting untuk memastikan Indonesia menjadi pemain utama dalam ekonomi hijau global," pungkasnya.
(anl/ega)










































