Tarik-menarik Kewenangan Dinilai Hambat Efektivitas Otonomi Daerah

Tarik-menarik Kewenangan Dinilai Hambat Efektivitas Otonomi Daerah

Hana Nushratu Uzma - detikNews
Rabu, 22 Okt 2025 23:06 WIB
Badan Pengkajian MPR RI melalui Kelompok III menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah, dan Desa” di Bogor, Jawa Barat, Selasa (21/10/2025).
Foto: MPR RI
Jakarta -

Badan Pengkajian MPR RI melalui Kelompok III menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah, dan Desa" di Bogor, Jawa Barat, Selasa (21/10).

Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda strategis MPR RI untuk mengkaji secara mendalam efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta peran desa dalam sistem pemerintahan nasional.

Pada kesempatan ini, Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Hindun Anisah menegaskan perubahan UUD NRI Tahun 1945, khususnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa perubahan mendasar dalam paradigma ketatanegaraan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, perkembangan tersebut menuntut adanya evaluasi berkelanjutan agar pelaksanaan otonomi daerah tetap selaras dengan tujuan pembentukan negara dan prinsip keadilan sosial.

Ia juga menyoroti bahwa praktik di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan serius yang berimplikasi pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

ADVERTISEMENT

"Sejumlah persoalan masih dihadapi, mulai dari tarik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah, dualisme pengaturan desa, hingga tingginya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah," ujarnya dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).

Hindun menambahkan MPR RI melalui peran konstitusionalnya, perlu terus melakukan kajian terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mekanisme otonomi daerah agar tetap relevan dengan dinamika zaman dan kebutuhan masyarakat. Ia menekankan pentingnya adaptasi konstitusi terhadap tantangan kontemporer, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.

"Konstitusi bukanlah teks mati, melainkan harus mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan rakyat," tegasnya.

Ia menyampaikan harapannya agar hasil kajian ini dapat menghasilkan rekomendasi konkret bagi penguatan tata kelola pemerintahan daerah, peningkatan efektivitas pelayanan publik, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal.

Lebih lanjut, Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan menyoroti pentingnya perbaikan menyeluruh terhadap sistem otonomi daerah di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan otonomi saat ini masih menyisakan berbagai kelemahan mendasar, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun dari sisi implementasi kebijakan.

Menurutnya, penyempurnaan sistem pemerintahan daerah harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan keseimbangan antara kewenangan dan kapasitas fiskal daerah.

"Pemda kita yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang masih banyak kekurangannya. Pikiran kita adalah bagaimana memperbaikinya ke depan," ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa tingginya biaya politik dalam penyelenggaraan pilkada langsung telah menjadi salah satu akar masalah korupsi di tingkat daerah.

"Sejak 2005 sampai 2026 sudah ada 460 kepala daerah tersangkut kasus korupsi, termasuk 38 gubernur. Daerah diberi 32 urusan, tapi anggarannya hanya seperlima dari APBN. Ini jelas tidak seimbang," tegasnya.

Sementara itu, dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro memaparkan pelaksanaan otonomi daerah selama lebih dari dua dekade belum sepenuhnya mencapai tujuan yang diharapkan. Ia menilai bahwa masih terdapat kesenjangan antara idealisme desentralisasi dengan realitas penyelenggaraan pemerintahan di lapangan.

Menurutnya, otonomi daerah semestinya menjadi sarana untuk meningkatkan pelayanan publik dan mendorong tata kelola pemerintahan yang baik di tingkat lokal.

"Desentralisasi seharusnya meningkatkan kualitas pelayanan publik, mewujudkan good local governance, memperkuat daya saing, dan menyejahterakan masyarakat. Namun capaian keempat hal tersebut masih jauh dari optimal," ujarnya.

Siti Zuhro juga mengingatkan bahwa semangat desentralisasi tidak boleh mengarah pada federalisme. Ia menegaskan bahwa interpretasi yang terlalu luas terhadap otonomi daerah dapat berpotensi mengaburkan prinsip negara kesatuan.

"Kesalahan besar ketika konstitusi memberikan payung hukum 'seluas-luasnya'. Itu berpotensi menjadikan kita negara federal, bukan unitary state," tegasnya.

Dekan FISIP Universitas Brawijaya Ahmad Imron Rozuli kemudian menyoroti adanya ketidakkonsistenan antara rancangan konstitusional dan praktik pemerintahan di lapangan. Ia menjelaskan bahwa tumpang tindih kewenangan, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan fragmentasi kebijakan sering kali membuat masyarakat merasa jauh dari pemerintahnya.

"Tumpang tindih kewenangan dan lemahnya koordinasi antarkementerian justru menjauhkan masyarakat dari pemerintahnya," ujarnya.

Lebih lanjut, Imron menilai bahwa mahalnya biaya politik dalam pemilihan kepala desa hingga kepala daerah telah mengubah wajah demokrasi lokal.

"Sekarang pilkades seperti pilkada mini, ada pihak yang mendanai calon kepala desa sehingga hasilnya tidak lagi murni aspirasi masyarakat," kata Imron.

Sebagai solusi, ia mengusulkan agar sistem pemilihan gubernur dikembalikan kepada DPRD. Langkah tersebut, menurutnya, akan menghemat biaya politik sekaligus menjaga stabilitas hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah.

"Desentralisasi harus dijalankan dengan efisien, berkeadilan, dan mempertimbangkan muatan lokal," pungkasnya.

FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Badan Pengkajian MPR RI dalam menjalankan tugas konstitusionalnya untuk mengkaji pelaksanaan ketentuan UUD 1945. Diskusi tersebut diharapkan mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan yang aplikatif dan berbasis evidensi, khususnya dalam penyempurnaan sistem tata kelola pemerintahan daerah dan desa di Indonesia.

Hasil dari kegiatan ini akan menjadi bahan pertimbangan penting bagi MPR RI dalam menyusun arah kebijakan dan rekomendasi penyempurnaan sistem ketatanegaraan ke depan.

Untuk diketahui, Badan Pengkajian MPR RI saat ini tengah mengkaji lima tema besar yang menjadi fokus kerja kelembagaan. Kajian pertama membahas kedaulatan rakyat dalam perspektif demokrasi Pancasila, yang menjadi tanggung jawab Kelompok I.

Tema kedua dikaji oleh Kelompok II, dengan fokus pada kewenangan dan hubungan antar-lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Sementara itu, Kelompok III menelaah isu desentralisasi, otonomi daerah, pemerintahan daerah, dan desa, yang menjadi topik utama FGD kali ini.

Adapun Kelompok IV berfokus pada sistem keuangan negara, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial, sedangkan Kelompok V mengkaji aspek pertahanan dan keamanan negara.

Kelima tema tersebut merupakan bagian dari upaya Badan Pengkajian MPR RI untuk memperkuat pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam sistem ketatanegaraan, sekaligus merumuskan rekomendasi strategis bagi pembaruan arah pembangunan nasional di masa mendatang.

(akd/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads