Proses evakuasi korban runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny selama sembilan hari menyisakan kisah yang mengharukan. Tim penyelamat membuat gorong-gorong sebagai jalur evakuasi di tengah reruntuhan bangunan.
Nur Hadi Santoso, salah satu rescuer Basarnas Surabaya, masih mengingat betul betapa sulitnya proses evakuasi di lapangan.
"Akses ke para korban melalui celah-celah kecil. Jadi ukuran tubuh kita hanya bisa masuk lewat lubang selebar 30 sentimeter, bahkan kadang lebih sempit ke arah korban," kata Nur Hadi, dilansir detikJatim, Senin (13/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada disampaikan Gani Wiratama, rescuer Basarnas Surabaya lainnya. Ia mengatakan bahwa penggunaan alat bantu evakuasi juga tidak bisa dilakukan secara maksimal.
"Begitu terjadi collapse structure, maka situasi menjadi kompleks. Reruntuhan bangunan membentuk ruang-ruang terbatas. Kondisi itu membuat akses semakin sulit, dan penggunaan alat juga terbatas karena tidak bisa digunakan secara maksimal seperti seharusnya," katanya.
Menyadari bahaya runtuhan susulan, Nur Hadi kemudian menginstruksikan agar proses evakuasi dilakukan tanpa mengubah struktur bangunan yang tersisa. Gani menambahkan bahwa posisi para santri yang berada di lantai dasar sehingga tim SAR menggali dari bawah dan membuat gorong-gorong.
"Teman-teman sudah saya beri masukan dan briefing agar saat mengeluarkan para korban, jangan sekali-kali mengubah struktur bangunan. Jadi, kami membuat akses dari bawah maksudnya, kita bobol lantai, bukan memecahkan beton, tetapi menggali dari bawahnya," jelas Nur Hadi.
"Kebetulan para santri itu posisinya di lantai dasar, jadi kita membuat gorong-gorong lebih mudah karena di bawah keramik itu ada tanah," ujarnya.
Meski begitu, pembuatan gorong-gorong tetap memerlukan waktu dan tenaga ekstra. Tim penyelamat harus bekerja keras agar jalur tersebut bisa mencapai titik lokasi korban.
Simak selengkapnya di sini.