Kejagung Jelaskan soal Tak Ada Kata 'Oplosan' di Dakwaan Korupsi BBM

Kejagung Jelaskan soal Tak Ada Kata 'Oplosan' di Dakwaan Korupsi BBM

Rumondang Naibaho - detikNews
Jumat, 10 Okt 2025 20:57 WIB
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna
Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna (Rumondang/detikcom)
Jakarta -

Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan tidak ada kata 'oplosan' dalam dakwaan perkara dugaan korupsi terkait impor bahan bakar minyak atau BBM dan penjualan solar nonsubsidi. Perkara itu diduga menyebabkan kerugian sebesar Rp 285 triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna mengatakan istilah yang dipakai dalam produksi BBM bukan 'oplosan', melainkan 'blending' atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan (RON) yang berbeda.

"Jadi memang gini, tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an. Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah, ya bahkan price, ya kan di situ. Di situ kan ada dan dia termasuk ya yang diuntungkan, ada diperlakukan istimewa. Istilahnya bukan oplosan, blending-an dan memang secara teknis memang begitu. Tidak ada istilah oplosan, blending," kata Anang kepada wartawan, Jumat (10/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti diketahui, perkara dugaan korupsi terkait impor bahan bakar minyak atau BBM dan penjualan solar nonsubsidi memulai babak baru. Perkara itu diduga menyebabkan kerugian sebesar Rp 285 triliun.

ADVERTISEMENT

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/10), ada 4 orang yang duduk sebagai terdakwa. Namun di awal persidangan disepakati bahwa dakwaan akan dibacakan untuk 3 terdakwa lebih dulu, barulah kemudian seorang terdakwa dituntut secara terpisah. Siapa 3 orang tersebut?

1.⁠ ⁠Riva Siahaan selaku Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga periode Oktober 2021-Juni 2023 dan selaku Direktur Utama PT Pertamina Pertamina Patra Niaga periode Juni 2023-2025.
2.⁠ ⁠Maya Kusmaya selaku Vice President Trading & Other Business PT Pertamina Patra Niaga periode 2021-2023 dan selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
3.⁠ ⁠Edward Corne selaku Assistant Manager Crude Import Trading pada Fungsi Crude Trading Integrated Supply Chain (ISC) PT Pertamina periode 2019 - 2020, selaku Manager Import & Export Product Trading pada Trading and other Businesses Direktorat Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina periode 2020-2021, dan selaku Manager Import & Export Product Trading pada Trading and other Businesses Direktorat Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga (Subholding Commercial & Trading/SH C&T) periode 2021-Desember 2022.

Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa, ada 2 hal yang diduga menjadi pokok permasalahan yaitu terkait impor produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) serta terkait penjualan solar nonsubsidi.

1.⁠ ⁠Impor Produk Kilang/BBM

Jaksa mengatakan awalnya Edward Corne memberikan perlakuan istimewa pada 2 perusahaan yaitu BP Singapore Pte Ltd dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte Ltd dalam proses lelang khusus gasoline RON (Research Octane Number) 90 dan RON 92. Sebagai informasi, produk BBM yang dikenal masyarakat umum untuk RON 90 adalah Pertalite, sedangkan RON 92 adalah Pertamax.

"Dengan cara membocorkan informasi alpha pengadaan kepada BP Singapore Pte Ltd dan Sinochem Internasional Oil (Singapore) Pte Ltd serta memberikan tambahan waktu penawaran kepada BP Singapore Pte Ltd meskipun sudah melewati batas waktu penyampaian penawaran," sebut jaksa dalam persidangan tersebut.

Setelahnya Edward Corne mengusulkan 2 perusahaan itu sebagai calon pemenang tender melalui memo ke Maya Kusmaya. Usulan itu kemudian diteruskan ke Riva Siahaan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga (selanjutnya disebut PT PPN).

2.⁠ ⁠Penjualan Solar Nonsubsidi

Jaksa mengatakan bahwa Riva Siahaan menyetujui usulan harga jual solar/biosolar kepada konsumen industri tanpa mempertimbangkan nilai jual terendah atau bottom price. Akibatnya, PT PPN menjual solar/biosolar lebih rendah dari harga jual terendah.

"Bahkan di bawah harga pokok penjualan atau HPP dan harga dasar solar bersubsidi, yang pada akhirnya memberikan kerugian PT PPN," kata jaksa.

Jaksa turut menyebutkan total 14 perusahaan yang diduga mendapatkan harga solar/biosolar lebih rendah tersebut. Singkatnya, perbuatan itu dianggap jaksa menyebabkan kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara yang rinciannya adalah sebagai berikut:

1.⁠ ⁠Kerugian Keuangan Negara

‒⁠ ⁠USD 2.732.816.820,63 atau USD 2,7 miliar atau Rp 45.091.477.539.395 atau Rp 45,1 triliun (Kurs Rp 16.500)
‒⁠ ⁠Rp 25.439.881.674.368,30 atau Rp 25,4 triliun

Atau totalnya Rp 70.531.359.213.763,30 (Rp 70,5 triliun)

2.⁠ ⁠Kerugian Perekonomian Negara

‒⁠ ⁠Kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut sebesar Rp 171.997.835.294.293 atau Rp 172 triliun
‒⁠ ⁠Keuntungan ilegal yang didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri sebesar USD 2.617.683.340,41 atau USD 2,6 miliar atau Rp 43.191.775.117.765 atau Rp 43,1 triliun (kurs Rp 16.500 ribu)

Atau totalnya Rp 215.189.610.412.058 (Rp 215,1 triliun)

Nah dari kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara maka didapatkan Rp Rp 285.969.625.213.821,30 atau Rp 285 triliun lebih. Namun penghitungan ini menggunakan kurs rata-rata saat ini, tentunya jumlah itu akan berbeda apabila Kejagung menggunakan kurs lain.

Dalam surat dakwaan disebutkan pada tahun 2022 sampai 2023 PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) mendapatkan kompensasi dari pemerintah untuk penjualan Pertalite (BBM RON 90). Nilai kompensasinya dihitung dari selisih antara harga jual di SPBU dengan harga pasar atau yang disebut Harga Jual Eceran (HJE) formula.

Menurut jaksa, Pertalite sebenarnya tidak memiliki harga pasar resmi yang dipublikasikan sehingga untuk menghitung HJE formula itu Pertamina menggunakan harga bensin Mogas (Motor Gasoline) RON 92 sebagai acuan karena memiliki harga pasar yang jelas. Namun, PT PPN mengusulkan formula penghitungan yang tidak sesuai untuk meningkatkan kompensasi yang akan diterima PT PPN dari pemerintah.

"Pihak PT Pertamina melalui PT PPN mengusulkan Formula HIP (Harga Indeks Pasar) Pertalite RON 90 sebesar 99,21% MOPS 92 melalui Dirut PT Pertamina kepada Menteri ESDM berdasarkan formula JBU (Jenis Bahan Bakar Umum) Pertalite yang merupakan perhitungan matematis blending produk Mogas RON 88 dan Mogas RON 92, meskipun Pertalite RON 90 yang diproduksi di Kilang PT
Pertamina bukan merupakan hasil blending dari produk Mogas RON 88 dan RON 92 tersebut, melainkan pencampuran High Octane Mogas Component (HOMC-RON minimal 92) dan Naphtha dengan fraksi formula blending tertentu," kata jaksa.

"Hal tersebut dilakukan agar dapat menguntungkan PT PPN dalam penyaluran JBKP (Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan) Pertalite RON 90," imbuhnya.

Jaksa mengatakan formula itu menyebabkan kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah pada 2022-2023 lebih rendah sekitar Rp 13,1 triliun lebih apabila dibandingkan dengan penghitungan HJE formula saat ini. Angka tersebut disebut jaksa sebagai salah satu kerugian negara.

"Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian negara sebesar Rp 13.118.191.145.790,40 yang merupakan pembayaran oleh pemerintah yang lebih besar dari seharusnya atas kompensasi Pertalite selama tahun 2022 sampai dengan 2023," kata jaksa.

Simak juga Video 'Pakar Energi ITB: Penambahan Etanol pada Bensin Kurangi Emisi CO2':

Halaman 3 dari 3
(fas/dhn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads