Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik proses perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Koalisi Sipil menilai draf RUU KKS tidak mengedepankan aspek pelindungan individu dan ada peran TNI sebagai penyidik pidana siber.
Koalisi Masyarakat Sipil merupakan gabungan dari beberapa LSM, seperti Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure. Awalnya, Koalisi Sipil menilai RUU ini masih terlalu mengedepankan pelindungan kepentingan nasional.
"RUU KKS masih terlalu menekankan pendekatan state centric dengan mengedepankan pelindungan kepentingan nasional," kata Koalisi Sipil dalam keterangannya, Selasa (7/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi Sipil melihat tidak ada aspek pelindungan individu dalam RUU ini. Padahal, semestinya RUU tentang keamanan siber fokus pada keamanan digital individu.
"Justru dalam rumusan tujuan nihil aspek pelindungan individu, padahal sebuah legislasi keamanan siber yang baik, haruslah bertujuan untuk melindungi keamanan perangkat (device), jaringan (network), dan individu, sebagai aplikasi dari pendekatan human centric," katanya.
"Oleh karena, setiap ancaman dan serangan siber yang terjadi, pada akhirnya akan berdampak pada individu warga negara sebagai korbannya," lanjutnya.
Lebih lanjut, Koalisi juga melihat RUU ini masih mencampuradukkan antara kebijakan keamanan siber dan kejahatan siber. Hal ini tampak dari munculnya munculnya sejumlah tindak pidana baru sebagaimana diatur Pasal 58, 59, dan 60 pada draf RUU KKS.
Koalisi pun menyoroti istilah 'makar di ruang siber' yang ada di draf RUU KSS. Mereka yang melakukan makar bisa dikenai hukum pidana.
"Lebih mengerikannya lagi, RUU ini memperkenalkan 'makar di ruang siber', sebagaimana diatur Pasal 61 ayat (2) huruf b, dengan ancaman pidana penjara sampai dengan 20 tahun penjara (15 tahun ditambah sepertiga), ketika serangan siber dianggap mengancam kedaulatan negara dan/atau pertahanan dan keamanan negara," katanya.
Koalisi melihat RUU ini juga bisa mengancam demokrasi. Sebab, TNI termasuk penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber.
"Ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum dari RUU ini semakin nyata dengan diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d," tegasnya.
Masuk Prolegnas
Sebagaimana diketahui, RUU KKS menjadi salah satu RUU dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas untuk tahun 2026 setelah disepakati dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 23 September 2025.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah akan mengajukan draf tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk dibahas bersama.
"Sesegera mungkin akan kami ajukan karena sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)," kata Supratman dilansir Antara, Jumat (3/10/2025).
Dalam penyusunan draf RUU KKS, ia menjelaskan terdapat panitia antarkementerian yang terdiri atas Kementerian Hukum (Kemenkum), Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Terkait peran TNI sebagai penyidik di RUU ini, Supratman mengatakan TNI hanya berperan untuk menindak anggota yang terlibat tindak pidana siber.
"Kan sudah jelas, kalau tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, penyidiknya siapa? (TNI), ya sudah kalau begitu ya," ujar Supratman di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Oleh sebab itu, dia menjelaskan penyidik yang dimaksud dalam RUU KKS tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Kalau dia tindak pidana umum, penyidiknya siapa? Kalau ada PPNS-nya (penyidik pegawai negeri sipil), penyidiknya siapa? Kalau pelakunya TNI, penyidiknya siapa? Jadi, enggak perlu lagi (dipertanyakan, red), karena barang itu sudah clear (jelas, red) semua," katanya.
Simak juga Video Prabowo: TNI Harus Intropeksi Diri, Bantu Penegak Hukum