Ada sekitar 160 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tinggal dan bekerja di Hong Kong. Dari jumlah tersebut, para pekerja migran datang dari latar belakang pendidikan beragam yang didominasi oleh perempuan. Hal ini menyebabkan PMI berada di posisi rentan yang berlapis.
Pada titik ini, peran Konsulat Jenderal RI (KJRI) Hong Kong bersama Kejaksaan menjadi penting. Konsul Kejaksaan KJRI Hong Kong, Henry Yoseph Kindangen menjelaskan bahwa banyak PMI sebenarnya datang secara legal, namun kemudian terjebak dalam pelanggaran hukum akibat ketidaktahuan.
"Mereka tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang bagaimana harus bersikap. Nah, tapi karena mereka tidak mengalami pengalaman, tidak memiliki pengetahuan, akhirnya terjerumus ke dalam berbagai macam permasalahan hukum. Sementara hukum kan tidak melihat itu secara utuh. Yang penting mereka ada perbuatan, dianggap melanggar hukum, dan kemudian mereka harus berhadapan dengan itu," kata Henry kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Balik Jeruji, Rindu PMI Sampai ke Tanah Air Lewat KJRI
Sebagai bentuk pendampingan, KJRI tidak hanya memberi pemahaman hukum, tetapi juga hadir sebagai penghubung antara PMI dan keluarga.
Rasa sepi tentu mereka rasakan di balik dinginnya besi jeruji. Henry mengaku, tak jarang kerinduan itu mendorong mereka menelepon KJRI untuk mencari telinga yang mau mendengar, meski hanya lewat sambungan telepon.
"Kita dalam sampai Juli ini, sudah memfasilitasi konsultasi lewat telepon sekitar hampir 350 sambungan. Mereka curhat, mereka ngobrol. Mereka bahkan kadang-kadang, 'Pak, saya nggak ada yang pernah jenguk, Pak. Makanya saya telepon mau ngobrol sama Bapak',' tuturnya.
Akan tetapi, Henry mengakui terbatasnya sumber daya dan kewenangan KJRI menjadi tantangan terbesar untuk menjaga agar para PMI tetap merasa diperhatikan meskipun tidak semua permintaan bisa ditindaklanjuti.
"Kecewa, sudah biasa. Kita terima. Dan saya sampaikan kepada teman-teman yang ada di penjara, saya bilang, kadang-kadang mereka bersurat marah-marah ke kita. 'Kenapa kamu nggak pernah jenguk saya?', 'Kenapa gini? Kami juga warga negara Indonesia yang ada di sini, yang butuh perhatian', segala macam," lanjutnya.
Sebagai gantinya, KJRI berupaya menghadirkan bentuk pendampingan yang nyata dengan menjadi penghubung komunikasi antara PMI di penjara dan keluarga mereka di Indonesia. Diketahui, hingga pertengahan tahun, jumlah surat yang difasilitasi hampir mencapai 6.000 surat.
"Setiap hari, dia (staff KJRI) harus menyalurkan surat dari teman-teman yang di tahanan, yang di penjara, kepada keluarga mereka yang di Indonesia. Dan sampai, bayangkan, sampai dengan Juni ini, kita sudah memfasilitasi korespondensi itu hampir mendekati 6.000 surat," ungkapnya.
Demikian, Henry kemudian menggambarkan bagaimana setiap surat dari penjara diperlakukan dengan sederhana namun penuh perhatian.
"Kalau dari penjara, kita bukakan surat satu persatu di sini, kita scan, kita kemudian kirimkan via WA. Gitu juga dari keluarga. Kita print, termasuk foto-foto mereka, gambar-gambar mereka untuk yang di penjara, kita kirimkan via surat ke penjara. Langkah-langkah sederhana. Tapi itu yang bisa kita lakukan," pungkas Henry.
detikcom bersama Kejaksaan Agung menghadirkan program khusus yang mengungkap realita penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Program ini tidak hanya menyorot upaya insan kejaksaan dalam menuntaskan kasus, namun juga mengungkap kisah dari dedikasi dan peran sosial para jaksa inspiratif.
Program ini diharapkan membuka cakrawala publik akan arti pentingnya institusi kejaksaan dalam kerangka pembangunan dan penegakan supremasi hukum di masyarakat. Saksikan selengkapnya di sini.
(prf/ega)