Mengenal Sosok Satu-satunya Orang Sipil yang Dianugerahi Pangkat Jenderal

Mengenal Sosok Satu-satunya Orang Sipil yang Dianugerahi Pangkat Jenderal

Sudrajat - detikNews
Minggu, 05 Okt 2025 10:34 WIB
Sri Sultan HB IX dan Presiden Sukarno di Istana Merdeka, 14 Januari 1960. (Foto: Dok Arsip Nasional melalui Historia)
Sri Sultan HB IX dan Presiden Sukarno di Istana Merdeka, 14 Januari 1960. (Foto: Dok Arsip Nasional melalui Historia)
Jakarta -

Pemberian pangkat kehormatan seolah sudah menjadi tradisi yang diberikan para presiden RI, kecuali BJ Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam tiga bulan terakhir, Presiden Prabowo Subianto telah memberikan sedikitnya 27 pangkat kehormatan Bintang Empat hingga Bintang Satu. Namun, penerima pangkat kehormatan yang pertama kali justru bukan dari lingkungan tentara, tapi seorang sipil. Siapa gerangan?

Selepas menjadi Panglima Komando Wilayah Pertahanan Sumatera dan Kalimantan Barat, Letjen (Purn) Soesilo Soedarman ditarik Presiden Soeharto ke dalam Kabinet Pembangunan V (1988 - 1993) menjadi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Namun ketika akan ditunjuk menjadi Menko Polkam di kabinet berikutnya, Presiden Soeharto memberinya pangkat kehormatan Jenderal Bintang Empat pada 17 Maret 1993.

Soesilo Soedarman adalah pejabat aktif pertama dan satu-satunya yang diberi pangkat kehormatan oleh Soeharto. Landasannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 tentang Administrasi Kenaikan Pangkat Kehormatan. Hal itu dapat dipahami mengingat sebagai Menko, ayah dari Indroyono Soesilo yang kini menjabat Dubes RI untuk Amerika Serikat itu akan mengkoordinir para pejabat lain yang berpangkat Jenderal, seperti Menhankam Jenderal Edi Sudrajat dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 1 November 1997, Presiden Soeharto kembali memberikan gelar kehormatan. Penerimanya adalah sejumlah tokoh TNI AD yang sudah anumerta. Tiga di antaranya menerima pangkat jenderal kehormatan yaitu: Jenderal (Hor.) GPH Djatikusumo (KSAD 1948-1949), Jenderal (Hor.) Bambang Utoyo (KSAD 1955), dan Jenderal (Hor.) Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD 1964--1967).

Presiden Joko Widodo pun cuma sekali memberikan pangkat kehormatan, yakni kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 28 Februari 2024. Hal itu atas usulan Panglima TNI dengan merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

ADVERTISEMENT

Di masa awal reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan pangkat kehormatan kepada sejumlah jenderal yang menjadi anggota kabinetnya, antara lain Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (lalu Menko Polsoskam), Agum Gumelar (Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi, Luhut B. Panjaitan (Menteri Perindustrian dan Pertambangan).

Di era pemerintahan Presiden Megawati, sempat terjadi perbedaan pendapat antara Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Presiden, terkait pemberian pangkat kehormatan kepada Mendagri yang juga Menko Polkam ad interim Hari Sabarno dan Kepala BIN AM Hendropriyono. Pemberian pangkat kehormatan tersebut tak melalui mekanisme TNI dan tidak bisa dibenarkan.

Menurut Endriartono, pemberian pangkat kehormatan baru bisa diberikan bila seseorang benar-benar telah berjasa, baik untuk TNI dan negara. Akibat perbedaan pendapat itu disebut-sebut menjadi salah satu alasan Endriartono menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Megawati pada 24 September 2004. Namun Endriartono menepis isu tersebut.

Sikap seperti Endriartono Sutarto pernah ditunjukkan seniornya, KSAD/Panglima ABRI Jenderal Edi Sudradjat. Kala itu ia menolak perintah Presiden Soeharto untuk menaikkan pangkat Mentamben Ginandjar Kartasasmita dan Mensesneg Moerdiono dari marsekal muda ke marsekal madya.

Menurut TB Silalahi dalam dalam buku 'TB Silalahi Bercerita tentang Pengalamannya' yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, Jenderal Edi menolak karena menilai kedua menteri itu, sejak berpangkat letnan satu hingga jenderal bintang dua, tidak pernah bertugas aktif di militer. Pangkat Ginandjar dan Moerdiono baru naik menjadi bintang tiga ketika Jabatan Panglima TNI beralih ke Feisal Tanjung.

Hal yang mungkin tak terlalu banyak diketahui masyarakat, pangkat kehormatan 'Jenderal Bintang Empat' justru pernah diberikan kepada tokoh berlatar belakang sipil, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dia menjadi orang sipil pertama dan satu-satunya yang mendapatkan hal tersebut.

Menurut Martin Sitompul dalam Historia edisi 19 Maret 2024, acara penganugerahan oleh Presiden Sukarno berlangsung di Istana Merdeka pada 14 Januari 1960. "Pangkat Jenderal Kehormatan atau barang tanda pangkat yang tadi saya cantumkan di atas pundak Saudara Hamengkubuwono, sebenarnya dicantumkan oleh hati bangsa Indonesia yang merasakan hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Saudara Hamengkubuwono," kata Sukarno dalam pidatonya yang dikutip Sitompul dari Daftar Arsip Pidato Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno Tahun 1958-1967 No. 146, koleksi ANRI.

"Jenderal Hamengkubuwono, saya mengucapkan selamat bahagia kepada Saudara," tutupnya.

Pemberian pangkat kehormatan Jenderal Bintang Empat itu dinilai banyak pihak sangat layak mengingat peran dan jasa Sri Sultan HB IX. Dia adalah pendukung utama kemerdekaan Indonesia dan pernah menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Hatta, 1949-1950. Sri Sultan juga diketahui konseptor Serangan Umum 1 Maret 1949, yang selama tahun-tahun Orde Baru berkuasa tidak begitu diekspos dalam narasi sejarah resmi.

Ketika Soeharto mulai berkuasa, Sri Sultan HB IX yang berinisiatif keliling dunia untuk meyakinkan pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada dan beliau tetap menjadi bagian dari negara itu. Usahanya ini berkontribusi pada pemulihan kepercayaan internasional terhadap Indonesia.

Menurut Roy BB Janis dalam buku, 'Wapres: Pendamping atau Pesaing' terbitan BIP, Mei 2008, karena reputasi dan kredibilitasnya, Sri Sultan HB IX pernah menjadi personal guarantee bagi masuknya investasi asing ke Indonesia. Dia memasang iklan di New York Times, 17 Januari 1969. "5 Years From Now You Could Be Sorry You Didn't Read This Ad", begitu judulnya. Di ujung iklan tersebut tertera potret dan tanda tangan Sri Sultan HB IX.

(Foto: Repro buku 'Wapres: Pendamping atau Pesaing')Repro buku 'Wapres: Pendamping atau Pesaing'

Tonton juga video "Silaturahmi ke Sultan di Keraton Yogya, Prabowo Sebut Tak Bahas Politik" di sini:

(jat/yld)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads