Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti peran TNI yang memasuki usia 80 tahun. Menurut koalisi itu, TNI semakin masuk ke ruang politik dan sipil sehingga sudah seharusnya pembahasan mengenai reformasi TNI disuarakan.
Melalui diskusi bertajuk 'Menyikapi HUT TNI ke-80' di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, deretan pembicara hadir sebagai Koalisi Masyarakat Sipil yaitu dari Centra Initiative, YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan), serta Imparsial. Zainal Arifin sebagai Ketua Bidang Advokasi YLBHI memulai diskusi dengan mempertanyakan peran TNI saat ini.
"Kita, tentu saja saya, kalau ngobrol dengan kawan-kawan di koalisi, semua yang cinta TNI, karena bagian dari justru karena cintanya itu, kita harus menempatkan kembali TNI kepada fungsi-fungsi sebagai alat pertahanan," kata Zainal dalam diskusi yang berlangsung pada Sabtu (4/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada negara demokratis dengan politik militer. Konstitusi kita sudah tegas, Indonesia adalah negara hukum. Militer seharusnya diposisikan kembali pada fungsinya sebagai alat pertahanan, bukan masuk ke politik praktis atau bisnis," imbuh Zainal
Ada beberapa hal yang kemudian disoroti Zainal mulai dari figur militer yang berada di kabinet, anggota TNI aktif yang bisa menduduki jabatan sipil, hingga keterlibatan TNI pada Proyek Strategis Nasional serta Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Zainal, TNI harus dikembalikan sesuai jalur konstitusinya.
"Di era Presiden Prabowo, banyak figur militer yang masuk ke kabinet. Bahkan ada TNI aktif yang tetap bisa menduduki jabatan sipil karena payung hukum revisi UU TNI Nomor 3 Tahun 2025. Ini berbahaya, karena praktik lama dwifungsi seakan dilegalkan kembali," ungkap Zainal.
"Kalau TNI nyangkul, berternak, atau mengurus sawah, itu bukan fungsinya. TNI yang kita banggakan adalah yang menjaga teritori perbatasan dan kedaulatan negara," sambung Zainal.
Menyambung diskusi, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menyebut situasi saat ini sebagai bentuk rekonsolidasi militer. Menurutnya, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru memberikan konfirmasi akan kekhawatiran publik.
"Kami mencatat setidaknya ada 133 MoU antara TNI dengan lembaga sipil, sebagian besar di era Presiden Jokowi, dan dilanjutkan di era Prabowo. Padahal, menurut UU TNI 2004, TNI seharusnya menjalankan kebijakan, bukan membuat kebijakan," kata Ardi.
Ia mencontohkan kerja sama TNI dengan BPOM dalam distribusi obat dan vitamin melalui program MBG. Padahal, urusan gizi dan kesehatan anak seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan.
"Di MBG saja sudah tercatat 6.457 kasus keracunan, bahkan satu orang meninggal, itu bisa dikonfirmasi. Kalau ditambah TNI mengurus distribusi obat tanpa melibatkan Kemenkes, ini bisa jadi malapetaka kedua," kata Ardi.
Di sisi lain, ia juga menyoroti rencana pemerintah membentuk 500 Batalion Teritorial Pembangunan (BTP) hingga 2029. Menurutnya, struktur teritorial semacam ini berpotensi menjadi alat kontrol kekuasaan dan melanggar semangat reformasi TNI.
"Kalau militer lebih banyak di sawah daripada latihan perang, maka efek deterensinya hilang. Negara lain tidak akan lagi segan pada TNI," katanya.
Di sisi lain KontraS turut memberikan catatan tentang TNI. Catatan ini salah satunya menyoroti masih maraknya kekerasan yang dilakukan oknum TNI.
"KontraS menemukan bahwa dalam setahun terakhir tepatnya dari Oktober 2024-September 2025, terdapat 85 Peristiwa kekerasan yang dilakukan Prajurit TNI, di mana 53 Peristiwa atau 62,3% di antaranya terjadi pasca pengesahan RUU TNI," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra.
Kejadian kekerasan ini tersebar di ujung Barat dan Timur Indonesia. Kekerasan itu berbentuk penganiayaan hingga penembakan.
"Peristiwa tersebut terjadi merentang mulai dari ujung Barat hingga Timur Indonesia, dengan Pulau Papua sebagai episentrum kekerasan dengan 23 Peristiwa. Peristiwa di tersebut terjadi dalam bentuk yang beragam seperti, 38 tindak penganiayaan, 13 tindak penyiksaan, 19 intimidasi, bahkan 11 penembakan," tuturnya.
KontraS mencatat 182 orang menjadi korban, di antaranya 64 orang korban luka bahkan 31 orang meregang nyawa.
Selain itu, Matra TNI AD menjadi pihak yang paling banyak melakukan kekerasan dengan angka 67 peristiwa diikuti dengan TNI AL dengan 15 peristiwa dan Matra TNI AU dengan 4 peristiwa.
KontraS juga melakukan pemantauan khusus terkait dengan pengerahan pasukan ke Papua, pembentukan 6 Komando Daerah Militer (Kodam) yang berlokasi di wilayah-wilayah lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Temuan KontraS menunjukkan bahwa terdapat pengerahan 5.859 prajurit TNI khususnya dari Matra TNI AD ke Papua dengan alasan pengamanan perbatasan (Satgas Pamtas RI-PNG) yakni 3.270 prajurit dan untuk keperluan pengamanan dan pelaksanaan PSN melalui Batalyon Teritorial Pembangunan di Papua yang mencapai 2.108 prajurit," paparnya.
Tak hanya itu, KontraS pun menyoroti intervensi militer di ranah sipil termasuk di ranah akademik. KontraS mengingatkan bahwa di usia 80 tahun nanti TNI harus bisa mendengar aspirasi masyarakat sipil.
"Tindakan pengabaian terhadap aspirasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian demi terciptanya institusi TNI yang profesional malah mereduksi tujuan dari agenda utama reformasi sektor keamanan itu sendiri," ujarnya.
Lihat juga Video 'TNI Gelar Gladi Bersih HUT Ke-80, Ada Atraksi Pesawat Tempur':
(bel/wnv)