Warga bernama Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus uang pensiun anggota DPR. Ada sejumlah hal yang menjadi alasan dua orang itu meminta MK menghapus uang pensiun anggota DPR.
Dilihat dari situs MK, Rabu (1/10/2025), gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025. Pemohon mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 a, pasal 1 f, dan Pasal 12 UU Nomor 12/1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Pemohon mempersoalkan status anggota DPR sebagai anggota lembaga tinggi negara dalam UU 12/1980. Menurut pemohon, status itu membuat anggota DPR berhak mendapatkan uang pensiun setelah tak menjabat lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemohon mengatakan aturan yang ada membuat anggota DPR bisa mendapat pensiun seumur hidup meski hanya duduk di kursi DPR selama satu periode atau 5 tahun. Pemohon pun menyebut aturan pensiun bagai wakil rakyat itu berbeda dari para pekerja biasa.
"Tidak seperti pekerja biasa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia tetap berhak atas uang pensiun meski hanya menjabat satu periode alias lima tahun. Hak ini dijamin UU Nomor 12 Tahun 1980," ujar pemohon.
Dia mengatakan UU tersebut mengatur besaran pensiun pokok dihitung 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap bulan masa jabatan dengan ketentuan besaran pensiun pokok sekurang-kurangnya 6 persen dan sebanyak-banyaknya 75 persen dari dasar pensiun. Menurut pemohon, ada pula Surat Menkeu nomor S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 yang menyebut pensiun DPR besarannya sekitar 60 persen dari gaji pokok.
Selain uang pensiun bulanan, menurut pemohon, anggota DPR juga berhak mendapat tunjangan hari tua (THT) Rp 15 juta yang dibayarkan sekali. Dia membandingkan sistem pensiun untuk anggota DPR itu dengan para pekerja di bidang lain.
"Rakyat biasa harus menabung lewat BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lain yang penuh syarat, anggota DPR justru mendapat pensiun seumur hidup hanya dengan sekali duduk di kursi parlemen," ujarnya.
Pemohon mengatakan skema pensiun anggota parlemen di negara lain dibuat berdasarkan lama masa jabatan, usia dan kontribusi. Sementara di Indonesia, uang pensiun itu dianggap lebih mudah sehingga dianggap sebagai privilese atau hak istimewa bagi pejabat yang masa jabatannya cuma 5 tahun.
Pemohon kemudian membandingkan syarat pensiun anggota DPR dengan syarat penerima pensiun pada lembaga pemerintah lainnya. Pemohon menyebut hakim di Mahkamah Agung, ASN, anggota TNI, anggota Polri, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan baru berhak mendapat pensiun setelah masa kerja 10 hingga 35 tahun.
Pemohon lalu membuat perhitungan penerima pensiun anggota DPR dengan cara menghitung rata-rata sejak UU 12/1980 diundangkan. Dia menyebut ada 5.175 orang yang merupakan Anggota DPR RI sejak 1980 hingga 2025 yang menjadi penerima manfaat pensiun.
"Total beban APBN: Rp 226.015.434.000 (Rp 226 miliar)," ujarnya.
Pemohon merasa dirugikan dengan pembayaran pensiun tersebut. Pemohon merasa rugi karena merasa uang pajaknya digunakan membayar pensiun anggota DPR.
"Bahwa dengan manfaat pensiun yang diterima oleh DPR RI maka sangat membebani beban APBN: Rp 226.015.434.000. Bahwa dengan hal ini kerugian sangat nyata timbul yang dialami Pemohon I dan Pemohon II karena beban pajak yang digunakan untuk membayar pensiun tidak tepat," ujar pemohon.
Berikut petitum para pemohon:
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan pasal 1 huruf a UU 12/1980 bertentangan bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'Lembaga Tinggi Negara adalah Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung, tidak termasuk Presiden
3. Menyatakan pasal 1 huruf f UU 12/1980 bertentangan bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'Anggota Lembaga Tinggi Negara adalah Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan Hakim Mahkamah Agung'
4. Menyatakan pasal 12 ayat 1 UU 12/1980 bertentangan bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara, tidak termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun'
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara RI sebagaimana mestinya
Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Saksikan Live DetikSore:
Tonton juga video "Erick Thohir Usulkan Dana Pensiun Atlet-Pelatih Berprestasi" di sini: