Alasan MK Putuskan UU Tapera Bertentangan UUD: Tabungan Malah Memaksa

Alasan MK Putuskan UU Tapera Bertentangan UUD: Tabungan Malah Memaksa

Mulia Budi - detikNews
Senin, 29 Sep 2025 16:09 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bertentangan dengan UUD 1945 dan harus diubah. MK memberi batas waktu paling lama 2 tahun untuk melakukan penataan ulang UU Tapera.

"Menyatakan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran NRI tahun 2016 No 55 tambahan lembaran negara NRI No 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan," ujar ketua hakim MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hakim MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Hakim MK menyatakan UU Tapera tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) UU 4/2016, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang diskriminatif sesuai dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 281 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan Pemohon," ujar hakim MK Enny Nurbaningsih.

ADVERTISEMENT

"Oleh karena Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 merupakan 'pasal jantung' dari UU 4/2016, sehingga Mahkamah harus menyatakan UU 4/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara keseluruhan. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnva," tambah hakim.

Hakim MK mengatakan pelaksanaan UU Tapera saat ini sudah berlaku untuk ASN/PNS. Hakim MK menilai perlu memberikan batas waktu untuk penataan ulang tersebut.

"Oleh karena itu, untuk menghindari kekosongan hukum atas pelaksanaan amar Putusan Mahkamah yang membatalkan secara keseluruhan UU 4/2016, sesuai dengan Pasal 124 UU 1/2011, Mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu (grace period) yang dinilai cukup bagi pembentuk undang-undang untuk menata ulang pengaturan mengenai pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan yang tidak menimbulkan beban yang memberatkan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri," ujar hakim.

MK menilai pembentuk UU perlu memperhitungkan secara cermat soal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya mewajibkan menjadi pilihan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan perlindungan kelompok rentan. Kemudian, kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945.

"Dengan mempertimbangkan cakupan peserta Tapera yang luas sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah menilai bahwa pembatalan seketika terhadap UU 4/2016 tanpa masa transisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta, termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti BP Tapera dan lembaga keuangan terkait," ujar hakim.

"Oleh karena itu, untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum) Mahkamah memberikan tenggang waktu paling lama 2 tahun kepada pembentuk Undang-Undang untuk menata ulang sesuai dengan amanat UU 1/2011," tambah hakim.

Gugatan terhadap UU Tapera ini sendiri diajukan oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dengan nomor perkara 96/PUU-XXII/2024. Dalam pertimbangannya, MK menilai Tapera bukan pungutan yang bersifat memaksa. Hakim MK mengatakan konsep tabungan Tapera akan menggeser konsep tabungan yang bersifat sukarela menjadi memaksa.

"Terlebih, Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa sebagaimana maksud Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 ataupun dalam kategori 'pungutan resmi lainnya'. Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon," ujar hakim MK.

Hakim MK menilai norma Pasal 7 ayat (1) UU No 4 Tahun 2016 justru tidak sejalan dengan tujuan yang dimaksud. Sebab, menurut hakim, norma tersebut mewajibkan setiap pekerja, termasuk pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera.

"Norma demikian menggeser peran negara sebagai 'penjamin' menjadi 'pemungut iuran' dari warganya. Hal ini tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya menegaskan kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan, bukan justru mewajibkan mereka menanggung beban tambahan dalam bentuk tabungan yang menimbulkan unsur paksaan," ujar hakim.

Hakim MK menilai kewajiban seragam seluruh pekerja termasuk pekerja yang telah memiliki rumah atau belum menjadi peserta Tapera menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional. Menurut hakim, hal ini berpotensi menimbulkan beban ganda bagi pekerja.

Tonton juga video "MK Larang Wamen Rangkap Jabatan, Beri Waktu 2 Tahun untuk Diganti" di sini:

Halaman 3 dari 3
(mib/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads