Indonesia tengah bersiaga menghadapi ancaman gempa besar setelah berbagai sesar megathrust di Tanah Air menunjukkan aktivitas yang mengkhawatirkan. Sesar-sesar kritis seperti Lembang, Cimandiri, dan Baribis di Jawa Barat, ditambah Sesar Mentawai-Siberu dan Sesar Anjak Weyland di Papua, memperlihatkan peningkatan aktivitas mikro-seismik yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
Kekhawatiran ini semakin menguat setelah serangkaian gempa mengguncang berbagai daerah. Gempa Bogor-Sukabumi berkekuatan 4,0 SR yang terjadi pada 20-21 September 2025 bahkan diikuti 29 gempa susulan. Sebelumnya, gempa 6,5 SR mengguncang Nabire, Papua Tengah pada 19 September 2025, sementara Nias Barat juga diguncang gempa terkait Megathrust Mentawai-Siberu pada Mei lalu. Bekasi pun tak luput dari getaran gempa 4,5 SR pada 20 Agustus 2025.
Menghadapi realitas ancaman bencana yang kian kompleks dan intensif, Pemerintah Indonesia mengambil langkah inovatif melalui Kementerian Keuangan dengan instrumen pembiayaan Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau yang dikenal sebagai Pooling Fund Bencana (PFB). Inovasi ini merupakan instrumen pembiayaan dan asuransi risiko bencana pertama di dunia dalam mengatasi tantangan pembiayaan bencana yang berkelanjutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PFB hadir sebagai solusi inovatif yang dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan mekanisme Badan Layanan Umum (BLU) yang memberikan fleksibilitas optimal. Dana yang dihimpun dari beragam sumber, mulai dari APBN, APBD, hingga kontribusi donor nasional dan internasional, Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, filantropi, dan multilateral development banks (MDBs). Pendekatan diversifikasi sumber dana ini memungkinkan pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan tidak bergantung pada satu sumber pembiayaan.
Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto, menyampaikan tentang komitmen lembaganya untuk mengelola seluruh dana secara bertanggung jawab, akuntabel, dengan sistem earmarking, dan berbasis kinerja.
"Dalam melaksanakan mandatnya, BPDLH menjamin seluruh pengelolaan dana dilakukan dengan bertanggung jawab, akuntabel, earmarking, dan performance based," ujar Joko dalam keterangannya, Selasa (23/9/2025).
Keputusan strategis ini lahir dari kesadaran akan kesenjangan pendanaan untuk bencana. Sesuai dengan perhitungan Kementerian Keuangan bersama Institut Teknologi Bandung dan Bank Dunia, kebutuhan dana penanggulangan bencana untuk 50 tahun mendatang diproyeksikan mencapai Rp 15-20 triliun per tahun. Namun, alokasi Dana Cadangan Bencana melalui APBN hanya mampu menyediakan Rp 5-10 triliun per tahun, begitu pula dengan dana Bantuan Tidak Terduga (BTT) dari APBD yang terbatas.
Hingga pertengahan 2025, dana PFB telah mencapai Rp 8,1 triliun yang terdiri dari dana pokok senilai Rp 7,3 triliun dan imbal hasil investasi Rp 1,04 triliun. Dana utama ini diinvestasikan pada instrumen jangka menengah dan panjang dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
Imbal hasil dari investasi inilah yang kemudian disalurkan untuk berbagai kegiatan mulai dari pra-bencana, darurat bencana, hingga pasca-bencana, baik untuk bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, kekeringan, maupun bencana non-alam seperti pandemi COVID19.
Pemilihan BPDLH sebagai pengelola PFB merupakan keputusan yang strategis. Sebagai BLU yang telah berpengalaman mengelola dana lingkungan hidup dan perubahan iklim, BPDLH memiliki kapasitas untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim dengan pengurangan dan mitigasi risiko bencana dalam satu ekosistem berkelanjutan. Integrasi ini sangat penting mengingat perubahan iklim dan kenaikan suhu global mengancam ekonomi kelautan Indonesia yang saat ini bernilai USD 256 miliar.
PFB tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendanaan darurat, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk pembayaran premi asuransi bencana guna melindungi aset pemerintah melalui Asuransi Barang Milik Negara (ABMN), dan asuransi parametrik untuk pemerintah daerah ketika bencana terjadi. Partisipasi Pemerintah daerah memegang kunci strategis dalam mengembangkan PFB yaitu melalui penambahan dana utama maupun dengan pembelian premi asuransi parametrik.
Kontribusi ini dapat memperkuat rasa kepemilikan PFB oleh pemerintah daerah. Pendekatan holistik ini mencerminkan pemahaman bahwa penguatan kesiapsiagaan dan tanggap bencana saja tidak cukup untuk mewujudkan resiliensi berkelanjutan.
Dengan inovasi ini, Indonesia tidak hanya memperkuat ketahanan nasional terhadap bencana, tetapi juga memposisikan diri sebagai pionir global dalam pengelolaan risiko bencana berkelanjutan. Inovasi instrumen pembiayaan yang mengintegrasikan berbagai alternatif pembiayaan ini diharapkan dapat menjadi model bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Lihat juga Video 'Dampak Gempa M 6,5 di Nabire: Kantor Bupati-Bandara Rusak':
(ega/ega)