Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menegaskan bahwa layanan kesehatan jiwa merupakan hak seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini menunjukan pentingnya akses yang setara bagi kesehatan fisik maupun mental.
"Terdapat tren peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan jiwa dalam lima tahun terakhir. Sepanjang tahun 2020-2024, total pembiayaan pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit mencapai sekitar Rp6,77 triliun dengan total kasus sebanyak 18,9 juta. Skizofrenia menjadi diagnosis dengan beban biaya dan jumlah kasus tertinggi, yakni sebanyak 7,5 juta kasus dengan total pembiayaan Rp3,5 triliun," ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti dalam keterangan tertulis, Rabu (17/9/2025).
Hal itu dia katakan dalam Media Workshop bertema 'Layanan Kesehatan Jiwa Hak Seluruh Peserta' di Surakarta pada Selasa (16/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ghufron menyatakan layanan kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia menyebut kesehatan jiwa merupakan hak fundamental yang harus dijamin negara, sehingga BPJS Kesehatan bersama pemangku kepentingan terus memperkuat sistem agar masyarakat mendapat akses pengobatan dan rehabilitasi.
Pada tahun 2024, terdapat sekitar 2,97 juta rujukan kasus kesehatan jiwa dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit. Ghufron menambahkan, Jawa Tengah mencatat jumlah kasus terbanyak dengan 3,5 juta, disusul Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
"FKTP berperan penting sebagai pintu utama pelayanan kesehatan jiwa, tidak hanya menjadi kontak pertama, tetapi juga berfungsi sebagai pengelola kontinuitas pengobatan, koordinator layanan, sekaligus pemberi layanan komprehensif," tegas Ghufron.
BPJS Kesehatan juga mendorong deteksi dini melalui skrining Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) yang dapat diakses publik di situs resmi. Skrining ini membantu masyarakat mengenali gejala awal gangguan kejiwaan.
"Hasilnya menjadi dasar untuk pemeriksaan lebih lanjut di FKTP apabila terdapat indikasi medis. Pendekatan ini memperkuat upaya promotif dan preventif agar masalah kesehatan jiwa dapat ditangani sejak dini," pungkas Ghufron.
Selain itu, peserta yang sebelumnya dirawat di rumah sakit dan dinyatakan stabil kini dapat melanjutkan pengobatan di FKTP melalui Program Rujuk Balik (PRB). Menurut Ghufron, skema ini memudahkan peserta JKN untuk tetap mendapat layanan kesehatan jiwa yang lebih dekat dengan tempat tinggal sekaligus lebih efisien.
Ia menegaskan, negara hadir melalui Program JKN untuk memastikan setiap peserta memiliki akses yang setara terhadap layanan kesehatan jiwa. BPJS Kesehatan berkomitmen menyediakan layanan yang mudah, cepat, dan inklusif bagi masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, psikolog klinis Tara de Thouars menilai kebijakan ini menjawab kebutuhan mendesak dalam penanganan kesehatan mental. Ia menyoroti data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan 1 dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan mental, sementara 72,4 persen karyawan yang disurvei juga mengaku menghadapi masalah serupa.
"Angka percobaan bunuh diri bahkan mencapai 10 kali lipat dibandingkan kasus bunuh diri yang tercatat setiap bulan. Bahkan survei Indonesia National Mental Health yang dilakukan pada tahun 2024 menunjukkan data bahwa sebanyak 39,4 persen remaja mengalami masalah mental dan setiap tahun meningkat 20 hingga 30 persen," terang Tara.
Tara menjelaskan bahwa pemicu timbulnya masalah kesehatan mental ini antara lain, tingkat stres yang tinggi, persaingan ketat di dunia kerja, masalah ekonomi, fear of missing out (fomo) terhadap sesuatu, sandwich generation, hingga tekanan dari media sosial.
"Tekanan ini memengaruhi kondisi emosi, pikiran, dan perilaku sehingga menghambat fungsi kehidupan sehari-hari. Sayangnya, stigma negatif masih kuat melekat di masyarakat, di mana orang dengan gangguan jiwa sering dicap sebagai lemah, kurang bersyukur, atau bahkan dianggap aib. Stigma ini membuat banyak individu memilih menyembunyikan masalahnya dan enggan mencari pertolongan," tambahnya.
Tara mengingatkan agar masyarakat tidak memberi stigma negatif kepada pengidap gangguan mental karena dapat membuat mereka enggan mencari pertolongan.
Ia juga menekankan pentingnya berhenti menormalisasi gangguan mental sebagai hal wajar atau bahkan dianggap keren. Menurutnya, yang perlu dinormalisasi justru adalah upaya mencari bantuan profesional melalui psikolog atau psikiater.
"Sebelum kita mengharapkan keadaan menjadi lebih baik untuk diri sendiri dan orang sekitar, mulailah dengan menjaga kesehatan mental, karena tanpa kesehatan mental, apapun tidak akan ada artinya," ucap Tara.
Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainudin Surakarta, Wahyu Nur Ambarwati, menegaskan pihaknya siap melayani peserta JKN dengan prinsip humanistik. RSJD memiliki 213 tempat tidur, termasuk 177 untuk pasien psikiatri, serta instalasi rehabilitasi psikososial untuk membantu pasien meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan produktivitas.
"Jumlah pasien rawat inap di sini paling banyak adalah peserta JKN dengan total lebih dari 90 persen, baik yang terdaftar pada segmen PBI maupun non-PBI. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien kesehatan jiwa di Surakarta dan sekitarnya sangat bergantung pada Program JKN untuk mengakses layanan kesehatan," jelas Wahyu.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai sosialisasi skrining kesehatan jiwa berbasis SRQ-20 perlu diperluas seiring meningkatnya kasus gangguan mental. Ia menekankan bahwa pencegahan timbulnya gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, komunitas, dan masyarakat.
"Jumlah kasus gangguan jiwa terus meningkat tiap tahunnya, sehingga layanan kesehatan jiwa dalam Program JKN harus inklusif, berkesinambungan, dan tidak diskriminatif. Masyarakat juga harus memastikan keaktifannya sebagai peserta JKN, sehingga saat mengakses layanan kesehatan jiwa tidak menemui kendala," tegas Timboel.
Ia juga berharap layanan kesehatan jiwa dapat semakin merata, termasuk di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar 3T. Semakin dekat layanan dengan masyarakat, semakin cepat pula gangguan mental dapat ditangani.
(ega/ega)