Anggota DPR RI, Bambang Soesatyo, menyampaikan aksi pemuda Nepal yang menggelar pemilihan perdana menteri, melalui platform discord membuktikan teknologi digital mempunyai peran yang besar dalam proses demokrasi. Setelah Perdana Menteri, Sharma Oli mundur, Sushila Karki yang sebelumnya menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung Nepal terpilih sebagai perdana menteri.
Fenomena tersebut dinilai Bamsoet menjadi momentum untuk serius mempertimbangkan penerapan pemungutan suara elektronik atau e-voting dalam pemilu secara bertahap, dimulai dari wilayah perkotaan.
"Pemilu adalah instrumen kedaulatan rakyat. Kalau teknologi bisa membuatnya lebih cepat, akurat, transparan dan akuntabel, kenapa tidak kita pertimbangkan? Yang penting, jangan terburu-buru dan harus ada standar keamanan serta audit yang ketat agar kepercayaan publik tetap terjaga," tuturnya, dalam keterangan tertulis, Selasa (16/9/25).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dikatakan Bamsoet saat memberikan kuliah Pascasarjana (S2) Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta.
Bamsoet menilai pelaksanaan e-voting bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 2019, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah berhasil menggelar pemilihan kepala desa elektronik di 70 desa. Prosesnya relatif lancar, penghitungan suara berlangsung cepat, dan biaya logistik dapat ditekan.
Satu tahun sebelumnya, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur juga menerapkan sistem serupa di 15 desa. Sistem yang digunakan waktu itu, dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama BUMN PT INTI. Hasilnya dinilai efisien, cepat, minim masalah, dan lebih hemat biaya.
E-voting menjawab masalah klasik pemilu di Indonesia, yakni undangan ganda, surat suara sisa yang rawan disalahgunakan, hingga Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kerap bermasalah.
Dengan sistem ini, suara dihitung secara otomatis, cepat, dan jejak auditnya jelas, baik dalam bentuk manual maupun digital. Perangkat e-voting juga dirancang aman karena tidak terkoneksi dengan jaringan internet saat proses pemungutan. Internet baru digunakan saat hasil dikirim sesuai standar keamanan informasi elektronik.
Bamsoet menjelaskan berdasarkan Mahkamah Konstitusi pada 2009 melalui putusan Nomor 147/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa metode e-voting sah untuk digunakan dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini juga diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang secara eksplisit membuka ruang penggunaan perangkat elektronik dalam proses pemungutan suara.
"Kalau di level pemilihan kepala desa kita sudah bisa melakukannya dengan sukses, kenapa tidak melangkah lebih jauh? Kita tidak boleh kalah cepat dengan perkembangan zaman. Apalagi teknologi bisa menutup celah kecurangan, biaya tinggi serta politik uang yang selama ini kerap merusak kualitas pemilu kita," kata Bamsoet.
Bamsoet menjelaskan, pengalaman beberapa negara juga sudah menerapkan. Seperti India, misalnya, sejak tahun 1999 telah menggunakan mesin pemungutan suara elektronik (Electronic Voting Machine/EVM) dalam skala besar.
Estonia yang menjadi pelopor pemilu online pertama di dunia pada tahun 2005, warganya juga memberikan suara dari manapun melalui internet. Brasil sejak tahun 1996 juga menggunakan mesin e-voting dan kini menjadi salah satu negara dengan sistem Pemilu elektronik paling mapan.
"Kalau India dengan jumlah pemilihnya yang hampir satu miliar bisa melaksanakan, seharusnya kita juga bisa. Brasil, Filipina, sampai Estonia sudah membuktikan. Tinggal kita, mau atau tidak," ujarnya
Ia menegaskan, kunci utama pelaksanaan pemilu menggunakan e-voting terletak pada political will dari KPU, partai politik, dan pemerintah. Dengan teknologi, partisipasi pemilih bisa diperluas, sehingga Indonesia dapat keluar dari pola lama yang rentan manipulasi. Terlebih, generasi muda Indonesia yang akrab dengan digital pasti lebih antusias jika pemilu berjalan modern.
"Lihat saja Nepal. Anak-anak mudanya bisa memilih pemimpin di Discord. Itu simbol kuat bahwa dunia bergerak ke arah pemanfaatan teknologi digital dalam pelaksanaan demokrasi. Kalau kita hanya menunggu, bisa-bisa malah tertinggal. Penerapan e-voting bisa dilakukan bertahap, mulai dari pilkades, lalu naik ke pilkada, baru kita bicara pileg dan pilpres," pungkas Bamsoet.
Lihat juga Video: Rencana Digitalisasi, Akankah Ada E-Voting pada Pemilu 2024?