Eks Penyidik KPK: Harusnya Bebas Bersyarat untuk Setya Novanto Lebih Ketat

Eks Penyidik KPK: Harusnya Bebas Bersyarat untuk Setya Novanto Lebih Ketat

Anggi Muliawati - detikNews
Senin, 18 Agu 2025 14:40 WIB
Novanto dan Sofyan Basir sempat berjabat tangan usai sidang lanjutan kasus suap proyek PLTU Riau-1. Penasaran seperti apa ekspresi Novanto?
Setya Novanto (Pradita Utama/detikcom)
Jakarta -

Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto bebas bersyarat usai menjalani masa hukuman kasus korupsi e-KTP di Lapas Sukamiskin. Mantan penyidik KPK Praswad Nugraha menilai seharusnya pembebasan bersyarat (PB) terhadap Novanto dilakukan secara hati-hati.

"Secara hukum pembebasan bersyarat memang merupakan hak setiap narapidana sesuai peraturan perundang-undangan. Namun untuk tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, pemberian hak tersebut seharusnya dilakukan dengan sangat selektif dan ketat," kata Praswad dalam keterangannya, Senin (18/8/2025).

"Jika tidak, publik akan menilai negara gagal memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi," sambungnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, menurutnya, akumulasi keringanan yang diterima Novanto berupa remisi, peninjauan kembali (PK), hingga pembebasan bersyarat dapat menciptakan preseden buruk. Dia menilai masyarakat dapat menafsirkan koruptor kelas berat bisa mengakali sistem hukum.

ADVERTISEMENT

"Ini jelas bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang sering digaungkan pemerintah, termasuk oleh Presiden Prabowo yang menegaskan komitmen untuk menindak tegas pelaku korupsi," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan idealnya pembebasan bersyarat terhadap para koruptor harus dilakukan secara selektif. Menurutnya, perlu indikator yang jelas dan transparan serta akuntabel, agar tidak dipersepsikan sebagai bentuk kompromi terhadap kejahatan luar biasa.

"Kami menegaskan, meskipun PB adalah hak hukum, penerapannya terhadap koruptor kelas berat seperti Setya Novanto harus sangat hati-hati. Jika tidak, efek jera hilang, kepercayaan publik runtuh, dan pesan yang tersampaikan justru berbahaya: bahwa korupsi bisa dinegosiasikan," tuturnya.

"Korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa. Jangan biarkan proses hukum berubah menjadi sekadar formalitas yang bisa ditawar," imbuh dia.

Novanto dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Pada 2018, Novanto divonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Novanto dibebani membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dititipkan ke KPK subsider 2 tahun penjara. Novanto juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah menjalani masa pemidanaan.

Pada Juni 2025, MA mengabulkan PK Novanto. Hukuman Novanto disunat dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara.

Selain menyunat hukuman penjara, majelis hakim PK mengurangi pidana tambahan Novanto. Hakim PK mengubah hukuman pencabutan hak menduduki jabatan publik Novanto dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun setelah masa pidana selesai.

Simak juga Video: Setnov Bebas Bersyarat Usai Bayar Uang Pengganti Rp 49 Miliar

(amw/dhn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads