KPPU Dinilai Keliru Jadikan SK Code of Conduct AFPI Bukti Kesepakatan

KPPU Dinilai Keliru Jadikan SK Code of Conduct AFPI Bukti Kesepakatan

Dea Duta Aulia - detikNews
Jumat, 15 Agu 2025 19:50 WIB
Ilustrasi fintech
Foto: istimewa
Jakarta -

Langkah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menjadikan Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai alat bukti kesepakatan antar platform dinilai tidak tepat secara hukum. Mengapa demikian?

"Dari perspektif hukum, Code of Conduct umumnya bersifat sebagai pedoman perilaku dan etika, bukan sebagai perjanjian bisnis yang memiliki konsekuensi hukum langsung terhadap pelaku usaha terlebih pedoman tersebut tidak membatasi atau mengurangi terjadinya persaingan di antara perusahaan," kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra dalam keterangan tertulis, Jumat (15/8/2025).

Hal itu diungkapkan Ditha menanggapi langkah KPPU yang menjadikan SK tersebut sebagai salah satu alat bukti dalam sidang perdana dugaan kesepakatan menentukan manfaat ekonomi pinjaman daring (pindar) yang digelar pada Kamis, 14 Agustus 2025.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Investigator KPPU Arnold Sihombing menyampaikan bahwa kesepakatan penetapan harga bunga pinjaman antar anggota AFPI menjadi bukti dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, kesepakatan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) AFPI Tahun 2020 dan 2021 yang menjadi pedoman perilaku (code of conduct) seluruh anggota. Sebagai gambaran bahwa Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berkaitan dengan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ditha menyampaikan bahwa, SK code of conduct tidak dapat diposisikan sebagai bukti adanya kesepakatan antar platform untuk membatasi persaingan.

Dia menambahkan penerapan code of conduct pada dasarnya dimaksudkan untuk mengatur standar operasional atau perilaku sesuai nilai dan prinsip tertentu. Oleh karena itu, penggunaan SK tersebut sebagai bukti persekongkolan dinilai keliru dan terlalu dipaksakan.

"Kembali, kita harus memahami duduk perkara secara tepat. Jika SK tersebut dibuat untuk mengatur perilaku platform agar bisa lebih baik dalam melayani konsumen (masyarakat), memperkuat tata kelola, dan bermanfaat, kenapa jadi dipermasalahkan? Menjadi soal apabila pedoman tersebut mengurangi terjadinya persaingan? Faktanya, terbukti dengan jumlah pelaku usaha yang banyak yang ada di dalam pasar menggambarkan persaingan yang cukup ketat terjadi di dalam pasar. Kemudian apabila dibaca secara seksama pedoman tersebut tidak ada kesepakatan penetapan harga yang dibuat," tutupnya.

Simak juga Video 'MAKI Serahkan Berkas ke KPPU soal Penyelewengan 9 Eksportir CPO':

(ega/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads