Upaya mendorong industri batik yang ramah lingkungan menjadi sorotan utama pada hari kedua Gelar Batik Nusantara 2025 yang berlangsung di Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) menegaskan komitmennya dalam mendukung praktik produksi batik yang berkelanjutan, terutama lewat inovasi pengolahan limbah di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Mengusung tema 'Cinta Wastra Nusantara: Penerapan Keberlanjutan Lingkungan pada Industri Batik', diskusi panel ini menampilkan berbagai pendekatan baru dalam menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan perlindungan lingkungan.
Dalam diskusi panel ini, Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Dr. Komarudin Kudiya, S.IP., M.Ds. menyoroti permasalahan pengolahan limbah cair dalam proses pewarnaan batik yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pewarnaan batik adalah proses vital dalam produksi batik, tetapi menyisakan tantangan besar dalam pengelolaan limbahnya. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah batik akan terus mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat," ujar Komarudin dalam paparannya, Selasa (31/7/2025).
Proses pewarnaan batik, yang banyak menggunakan zat warna sintetis, menghasilkan limbah cair yang mengandung logam berat, zat kimia tambahan, hingga senyawa yang berpotensi karsinogenik. Jika dibuang langsung ke sungai, limbah ini dapat menurunkan kualitas air, merusak biota sungai, dan menimbulkan risiko kesehatan bagi warga sekitar sentra batik.
Kendala utama bagi mayoritas UKM batik adalah keterbatasan biaya dan lahan untuk membangun instalasi pengolahan limbah (IPAL) skala besar. Oleh sebab itu, diperlukan solusi yang sederhana, murah, namun efektif.
Inovasi ALIMBa: Solusi Murah dan Tepat Guna
Sebagai jawaban atas persoalan ini, APPBI mengembangkan ALIMBa (Alat Limbah Batik), sebuah sistem pengolahan limbah cair skala kecil yang mudah diterapkan di rumah produksi batik. Alat ini bekerja melalui beberapa tahap:
- Koagulasi-flokulasi: Menggumpalkan partikel warna dan logam berat menggunakan tawas, kapur, atau bahan alami seperti daun kelor.
- Filtrasi bertingkat: Menyaring limbah melalui pasir, arang aktif, ijuk, dan kerikil agar air menjadi jernih.
- Aerasi: Mengalirkan air ke bak terbuka untuk menghilangkan bau dan meningkatkan oksigen terlarut.
- Pemanfaatan ulang air: Air hasil olahan bisa digunakan kembali untuk proses pencucian batik.
Hingga pertengahan 2025, ALIMBa telah diterapkan di 27 sentra UKM batik di Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, hingga Jambi. Hasilnya, kadar pencemaran air (BOD dan COD) menurun hingga 80%, dan beberapa aliran sungai di sekitar sentra batik mulai kembali jernih.
ALIMBa Sebagai Langkah Menuju Batik Berkelanjutan
Penerapan ALIMBa tidak hanya menurunkan pencemaran air di sekitar sentra batik, tetapi juga mengubah pola pikir para pengrajin. Mereka kini lebih sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab kolektif terhadap ekosistem sekitar, dan mulai membangun citra sebagai eco-batik village di daerah masing-masing.
Ke depan, APPBI bersama Kemenperin, perguruan tinggi, dan lembaga pembiayaan menargetkan pengembangan ALIMBa versi modular dan portable agar mudah diterapkan di berbagai skala usaha. Selain itu, skema pembiayaan mikro juga disiapkan untuk mendorong adopsi lebih luas oleh UKM batik di seluruh Indonesia.
Sebagai informasi, Gelar Batik Nusantara 2025 yang digelar Kemenperin ini masih akan berlangsung hingga 2 Agustus 2025, menampilkan pameran, lokakarya, dan edukasi tentang batik berkelanjutan untuk publik.
Tonton juga Video: Mengenal Syalisatul, Perempuan Visioner Pendiri Rumah Batik di Wawonii
(akn/ega)