Pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) masih memerlukan kajian dan belum masuk tahap implementasi. Pimpinan MPR didorong segera menjalin komunikasi politik dengan Presiden Prabowo Subianto guna memperjelas arah dan bentuk hukum PPHN.
Hal itu disampaikan Anggota Badan Pengkajian MPR RI, Firman Subagyo, dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk 'Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN): Bentuk Hukum dan Substansi' di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/7) kemarin.
Diskusi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR ini juga menghadirkan Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo dan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, dimoderatori Luki dari KWP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Firman menyatakan, landasan hukum pembahasan PPHN adalah Keputusan MPR RI Nomor 3 Tahun 2024, yang memuat rekomendasi penuntasan substansi PPHN, evaluasi ketetapan MPR terkait, serta pembudayaan nilai-nilai kebangsaan.
"Namun, rekomendasi ini belum pada tahap implementasi karena masih memerlukan kajian-kajian mendalam. Diskusi telah dilakukan dengan para tokoh ketatanegaraan, namun mayoritas pakar hukum masih mempertanyakan urgensi PPHN dan bentuk hukum yang paling tepat untuknya," jelas Firman dalam keterangannya, Kamis (31/7/2025).
Ia menjelaskan, pascaamandemen UUD 1945 dan penghapusan GBHN, sistem perencanaan pembangunan berubah. Perencanaan tak lagi berbasis GBHN, melainkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang dijabarkan dalam RPJPN.
"Dengan sistem saat ini, RPJPN merupakan penjabaran dari visi dan misi Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Artinya, RPJPN telah menggantikan peran GBHN," ujarnya.
Ia mengakui, baik GBHN maupun RPJPN memiliki kelebihan dan kekurangan. RPJPN lebih fokus, tetapi dinilai kurang menjamin kesinambungan pembangunan pusat dan daerah. Jika GBHN ingin dihidupkan kembali, diperlukan landasan hukum kuat. Firman menuturkan dua opsi hukum yang dapat dipertimbangkan.
"Pertama, melalui amandemen UUD 1945 agar kedudukannya kuat secara konstitusional. Kedua, melalui undang-undang biasa, namun ini lemah karena bisa diubah sewaktu-waktu oleh DPR dan pemerintah," paparnya.
Firman menambahkan, Presiden Prabowo memiliki keinginan melanjutkan pembahasan GBHN, namun belum jelas apakah PPHN akan menggantikan fungsi GBHN lama atau menjadi dokumen panduan.
Ia mengingatkan, jika amandemen UUD ditempuh, bisa memicu isu lain seperti masa jabatan presiden. Karena itu, pihaknya mengusulkan istilah adendum atau kesepakatan terbatas, bukan amandemen.
"Beberapa fraksi lain juga mengusulkan istilah 'amandemen terbatas' untuk meminimalisir risiko," ungkapnya.
Firman berharap Pimpinan MPR segera mengambil langkah proaktif untuk menindaklanjuti rekomendasi yang telah disampaikan oleh MPR periode sebelumnya mengenai pentingnya kehadiran PPHN. Jika sudah ada kejelasan, menurutnya, pembahasan PPHN bisa dilanjutkan secara lebih terstruktur dan sesuai ketentuan.
"Kami meminta pimpinan MPR RI untuk segera melakukan komunikasi politik dengan Presiden melalui forum resmi. Tujuannya adalah untuk memperjelas maksud sebenarnya dari usulan mengenai GBHN ini, apakah sebagai peta jalan jangka panjang atau kebijakan jangka menengah," tegasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai, urgensi menghadirkan kembali haluan negara muncul akibat kesalahan sistemik pasca-amandemen. Tanpa pedoman bersama, bangsa terlalu bergantung pada satu orang.
"Bangsa ini didefinisikan oleh satu orang namanya presiden. Kita berbangsa dan bernegara dengan cara menyerahkan seluruh persoalan kita kepada presiden untuk mengurusinya. Kalau presidennya beres, ya beres kita. Tapi kalau tidak, itu menjadi masalah kita semua," ujar Margarito.
Ia menyebut, ketiadaan haluan negara membuat Indonesia keluar dari semangat gotong royong. Haluan seperti PPHN diperlukan agar urusan negara dikelola bersama.
"Yang kita butuhkan bukan GBHN dalam bentuk lama, tetapi Pokok-Pokok Haluan Pembangunan. Ini adalah kerangka tentang bagaimana seharusnya kita berpemerintahan yang berisi garis besar dari impian kolektif kita tentang keadilan, industri, kesehatan, dan keamanan," katanya.
Margarito menegaskan, PPHN bukan untuk membatasi presiden, melainkan memperjelas arah. Presiden tetap punya ruang untuk berinovasi.
"Saat ini, ada kebutuhan konstitusional atau constitutional urgency untuk memperbaiki sistem ini secara institusional. Sudah saatnya kita sadar bahwa menyerahkan nasib bangsa kepada satu orang adalah sebuah risiko yang tak terbayangkan," paparnya.
Di sisi lain, Pengamat Politik Karyono Wibowo menilai, wacana PPHN bukan hal baru. Gagasan ini sudah muncul sejak era Soekarno dengan Manipol Usdek, hingga GBHN di masa Orde Baru.
Namun ia mempertanyakan keseriusan elite politik. Menurutnya, sejak periode pertama Presiden Jokowi, kesadaran akan pentingnya PPHN sudah ada, tapi belum membuahkan hasil.
"Selama kurang lebih 25 tahun perjalanan negeri ini, mulai muncul kesadaran perlunya PPHN, tetapi sampai hari ini itu masih belum berhasil. Pertanyaannya, sebenarnya serius tidak?" ujar Karyono.
Ia menilai, PPHN penting untuk mengevaluasi arah pembangunan secara terukur dan menjamin kesinambungan antar-pemerintahan.
"PPHN itu penting agar pelaksanaan pembangunan berjalan on the right track, sejalan dengan ideologi Pancasila dan konstitusi kita. Selain itu, PPHN menjamin kesinambungan dan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga kebijakan strategis tidak berhenti saat ganti presiden," jelasnya.
Meski mengakui adanya tantangan, termasuk risiko 'penumpang gelap' dalam amandemen UUD, Karyono menekankan PPHN adalah keharusan. Ia mendorong kajian komprehensif yang membandingkan era dengan dan tanpa GBHN.
"Merumuskan PPHN memang harus relevan dengan zaman tanpa mengurangi sistem presidensial. Tapi saya tegaskan kembali, PPHN itu keniscayaan, kalau kita benar-benar ingin mencapai cita-cita pembangunan nasional," pungkasnya.
Simak juga Video 'Ketua MPR Bicara Pentingnya PPHN Jamin IKN Dituntaskan':