Sorotan SBY soal Ketimpangan hingga Pemimpin Dunia dan Kekuasaan

Sorotan SBY soal Ketimpangan hingga Pemimpin Dunia dan Kekuasaan

Azhar Bagas Ramadhan - detikNews
Kamis, 31 Jul 2025 08:44 WIB
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara Institut Peradaban di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan. (Azhar Bagas/detikcom)
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara Institut Peradaban di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan. (Azhar Bagas/detikcom)
Jakarta -

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara terkait peradaban dunia yang harus dihadapi setiap negara. Mulai dari ketimpangan sosial hingga sifat pemimpin yang bisa merusak bangsanya sendiri.

Hal ini diutarakan SBY dalam pidato peradaban World Disorder and The Future of Our Civilization di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025). Turut hadir Chairman CT Corp Chairul Tanjung, Ketua Dewan Institut Peradaban Jimly Asshiddiqie hingga Ketua Umum Institut Peradaban Dipo Alam.

Tak hanya soal ketimpangan sosial maupun ekonomi, SBY juga berbicara soal bahayanya kekuasaan jika disalahgunakan. Apalagi, katanya, peperangan yang kini sedang gencar, akan berbahaya jika pemimpin dunia ini tak menurunkan egonya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pidatonya, SBY mengutip pernyataan sejumlah penulis hingga sejarawan di berbagai belahan dunia. Perubahan iklim, perdagangan internasional, akan menjadi tantangan para pemimpin dunia dalam mempertahankan negaranya.

ADVERTISEMENT

Lalu, SBY juga menyoroti soal masih banyaknya kemiskinan yang merajalela di berbagai belahan dunia. Namun, di satu sisi, para miliarder berlomba-lomba ke luar angkasa di saat jutaan orang masih merasakan kelaparan.

SBY: Negara Kuat Bisa Jatuh karena...

SBY menjelaskan sejumlah faktor suatu negara kuat bisa jatuh. Salah satunya negara yang dipimpin oleh sosok yang menempatkan diri di atas hukum maupun rakyat.

"Satu abad terakhir, kita kerap menyaksikan negara kuat jatuh, seolah-olah negara kuat jatuh lantaran pemimpinnya meletakkan dirinya atas pranata hukum, di atas sistem yang adil, dan di atas kesetiaan sejati terhadap negara dan rakyatnya," kata SBY.

SBY kilas balik dengan sejarah negara Prancis dengan pemimpin yang menempatkan diri di atas hukum dan suara masyarakat. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu menilai kepemimpinan seperti itu menjadi contoh suatu peradaban akan jatuh.

"Kita ingat, penguasa Prancis sebelum revolusi Prancis di 1789, banyak yang absolut. Louis XIV, Louis XVI, bahkan dikatakan semua, negara adalah saya, hukum adalah saya, konstitusi adalah saya, keadilan adalah saya, suara rakyat adalah saya, jangan-jangan mengatakan Tuhan adalah saya. Ini yang sejarah melakukan koreksi terus-menerus dan terjadi banyak belahan bumi," katanya.

"Pandangan-pandangan ini menampakkan konfirmasi dalam analisis modern, pemikiran berjudul correct, mementingkan lima faktor utama, keruntuhan peradaban masyarakat, yaitu, mari kita cakap baik-baik, yang membuat peradaban jatuh," tambahnya.

Lebih lanjut, menurut SBY, sebuah peradaban bisa runtuh karena kerusakan lingkungan hingga perdagangan internasional. SBY memandang negara bisa runtuh jika tidak pandai beradaptasi.

"Pertama, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, permusuhan dengan pertahanan, berkurangnya dengan mitra dagang, hati-hati dalam mengelola perdagangan internasional, karena selalu internal yang buruk terhadap krisis. Yang lain, menekankan bahwa peradaban tidak jatuh karena tantangan diri sendiri, tetapi karena kegagalan untuk belajar dan beradaptasi," katanya.

Pesan SBY soal Kekuasaan

SBY juga mengingatkan pemimpin dunia untuk menggunakan kekuasaan secara tepat. SBY memberi pesan agar kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin dunia tidak disalahgunakan.

SBY dalam hal ini mengutip penulis Yuval Noah Harari dalam buku 'Homo Deus' dan '21 Lessons for the 21st Century' untuk menjelaskan perihal bahayanya kekuasaan tersebut.

"Bahwa peradaban modern memiliki risiko baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Apa itu? Hadirnya kecerdasan buatan, disinformasi digital, dan ancaman seperti krisis iklim dan senjata biologis," kata SBY.

"Yuval Harari mengatakan, saya kutip, 'We are not powerful enough to destroy our entire civilization, but not wise enough to control our own powers. It is about power. How to use our power and how to control the powers'. Terjadi di seluruh belahan dunia," tambahnya.

SBY menilai analisisnya bisa menjadi peringatan untuk semua pemimpin di dunia agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Sebab, dalam karya ilmiah tersebut, kekuasaan bisa merusak negara itu sendiri.

"Ini tentunya mengingatkan para pemimpin dunia, baik pemimpin politik, pemimpin bisnis, mau pemimpin apa pun, jangan bermain-main dengan kekuasaan. Jangan menyalahgunakan kekuasaan. Ingat, power tends to corrupt. Absolute power tends to corrupt absolutely," kata Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.

Lebih lanjut, SBY juga menyebut, dalam buku itu disebutkan ketahanan sebuah negara tidak bisa dinilai dari kekuatan fisik. Tetapi negara bisa bertahan atas kepandaian dalam beradaptasi.

"Jadi, Saudara-saudara, sejarah dan pemikiran para tokoh peradaban tadi memberi kita pelajaran bahwa daya tahan peradaban bukan ditentukan oleh kejayaan atau senjata, tetapi oleh kematangan ketangguhan sosial dan kapasitas untuk beradaptasi secara cerdas dan bermoral. Mereka yang bertahan bukanlah yang paling kuat secara fisik, tapi yang paling mampu mengelola perubahan," katanya.

SBY Minta Pemimpin Dunia Turunkan Ego

Selain itu, SBY juga berbicara soal peradaban yang sedang dihadapi dunia sekarang, salah satunya peperangan, yang menurutnya semua pemimpin dunia harus menurunkan ego. SBY menegaskan bahwa semua bangsa tentu lebih memilih damai.

"Bangsa mana pun lebih senang damai dibandingkan negaranya terlibat dalam peperangan. Ini berlaku pada pemimpin mana pun di dunia sekarang ini harus bersedia menurunkan ego, menurunkan ambisinya, ingat bangsa dan negaranya, ingat dunianya," kata SBY.

SBY menyebut cara tersebut ia gunakan saat memimpin Indonesia. Hasilnya, kata SBY, selalu berakhir baik.

"Cara ini kami pilih baik dalam menyelesaikan konflik antarnegara maupun resolusi konflik di antarnegara. Alhamdulillah hasilnya baik," ujarnya.

Lebih lanjut, SBY juga berbicara soal pentingnya sebuah negara memahami sejarah. Hal itu, menurut SBY, demi menghindari kesalahan yang berulang.

"Hadirin sekalian yang saya hormati, dalam memahami arah masa depan kita tidak bisa melupakan masa lalu. Seperti kata sejarawan, kalau kita tidak pernah bisa memahami masa lalu dalam perjalanan sejarah, sesaat bisa kita mengulangi kesalahan-kesalahan selamanya," katanya.

"Maka dari itu, dalam bagian ini saya mengajak kita menelusuri kembali perjalanan peradaban dunia dan Indonesia selama satu abad terakhir, abad ke-20 sampai dengan abad ke-21, sebuah abad yang penuh gejolak, inovasi, dan transisi," tambahnya.

SBY Soroti Ketimpangan

Lalu, SBY juga berbicara soal kemiskinan yang masih melanda dunia, bahkan Indonesia. SBY menyebutkan 838 juta orang di dunia masih merasakan kelaparan dan kesulitan tidur.

"Kenyataannya, kemiskinan dan ketimpangan masih menyelimuti sebagian besar di dunia. Everyday ada 838 juta orang yang pada malam hari tidak bisa tidur, tidak bisa tidur karena lapar, karena tidak makan," kata SBY dalam pidato peradaban World Disorder and The Future of Our Civilization di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025).

SBY lalu menyatakan tercatat 88,3 juta orang di negara-negara ASEAN masih tergolong miskin. Sedangkan di Indonesia ada sekitar 24 juta orang hidup dalam kemiskinan.

"Ini bukan sekadar tantangan sosial ekonomi, ini adalah krisis keadilan global. Di satu sisi kita lihat miliarder berlomba-lomba pergi ke luar angkasa, di sisi lain jutaan manusia masih berjuang untuk bisa makan sehari-hari, makan 2-3 kali," ujarnya.

"Jika ketimpangan ini dibiarkan, akan memicu stabilitas sosial, ekstremisme, bahkan konflik antarkelas," tambahnya.

Lebih lanjut, SBY juga menyarankan agar negara mengatur perekonomiannya dengan baik dan adil.

"Tapi, jika kita main yang baik melalui ekonomi yang inklusif, pajak yang lebih adil, pendidikan dan akses digital yang merata, maka kita bisa mengubahnya menjadi kekuatan baru," katanya.

Halaman 2 dari 5
(azh/azh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads