Anggota Komisi IV DPR RI Rajiv mendorong pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) segera mengkaji ulang regulasi mutu dan skema harga eceran tertinggi (HET) perberasan. Kajian ulang ini bisa menjadi momen untuk menata ekosistem pangan di Indonesia.
Adapun langkah ini dilakukan pemerintah setelah adanya temuan ketidaksesuaian mutu, harga, dan berat beras kemasan di pasar, yang dinilai berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99 triliun.
Temuan yang dilakukan Kementerian Pertanian ini berdasarkan hasil uji terhadap 268 sampel beras dari 13 laboratorium independen, dengan 212 merek yang tidak memenuhi ketentuan label, mutu, dan harga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rajiv menilai fakta tersebut menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi pangan. Khususnya terkait mutu beras premium dan medium yang seharusnya diatur secara ketat sesuai dengan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.
"Ini bukan hanya soal beras, ini soal kepercayaan publik terhadap label, harga, dan apa yang mereka konsumsi. Konsumen berhak tahu dan harus mendapatkan produk sesuai dengan label yang tertera. Kaji ulang HET adalah momentum menata ulang ekosistem pangan kita secara menyeluruh," katanya.
Rajiv meminta agar sistem pengawasan mutu yang efektif dibenahi. Dia ingin kualitas beras dipastikan.
"Kita butuh sistem pengawasan mutu yang efektif dari hulu ke hilir, termasuk di level distribusi dan ritel. Pelabelan tidak boleh asal tempel. Bila disebut 'premium', maka barang benar-benar harus premium sesuai standar nasional," kata Rajiv kepada wartawan, Rabu (30/7/2025).
Kata Rajiv, kebijakan HET ini tidak bisa dilihat hanya sebagai batas harga saja, tapi harus dipahami juga sebagai alat kendali yang mencerminkan realitas sosial, struktur ongkos produksi, dan integritas sistem distribusi pangan nasional.
"Dalam proses kajiannya, Badan Pangan Nasional diharapkan bisa melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk asosiasi petani, pelaku industri, dan organisasi perlindungan konsumen," ujar Anggota Fraksi Partai NasDem ini.
Rajiv menilai langkah penyesuaian HET bukan sekadar perbaikan kebijakan, tapi momen membangun kepercayaan publik terhadap pasar beras. Karena, kata dia, masyarakat saat ini sudah semakin kritis, sehingga negara harus menjamin dan memastikan bahwa tidak ada lagi celah bagi para oknum untuk memanipulasi mutu, label dan harga.
"Kita sedang bicara tentang pangan. Ini bukan komoditas biasa. Ini menyangkut rasa keadilan publik. Kalau rakyat merasa dibohongi, baik karena harga yang tak sesuai mutu, atau subsidi yang bocor, maka yang rusak bukan hanya pasar, tapi legitimasi sistem," tegas Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat II ini.
Oleh karenanya, Rajiv mengusulkan kepada pemerintah dalam hal ini Badan Pangan Nasional, Kementerian Pertanian, Bulog dan Kementerian Perdagangan agar melakukan audit harga dan ongkos produksi real-time di lima zona wilayah produksi utama, serta membentuk forum multi-pihak yang melibatkan petani, penggilingan, pengusaha ritel, dan konsumen sebagai bentuk transparansi kebijakan.
![]() |
Di samping itu, Rajiv mengimbau masyarakat dan regulator tidak mencampuradukkan praktik pencampuran varietas dalam industri beras sesuai standar mutu, dengan pengoplosan ilegal yang melibatkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan).
Menurut dia, mencampur untuk preferensi tertentu memang diperlukan. Dalam industri perberasan, pencampuran varietas tertentu merupakan praktik umum dilakukan sesuai standar mutu dan ketentuan yang berlaku.
"SPHP merupakan subsidi dari negara yang menjadi bagian dari intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas perberasan di masyarakat. Mencampur beras SPHP adalah pelanggaran hukum, karena menyangkut keuangan negara dan hak publik," tukasnya.
Simak juga Video 'CISDI: PMT Bisa Jadi Alternatif Beri Pangan Bergizi untuk Anak':
(rdp/dhn)