Sekretaris Fraksi PKS MPR RI, Johan Rosihan menyoroti aktivitas mendaki yang dinilai kerap kali dijadikan sebagai ajang mencari validasi. Ia menyayangkan aktivitas ini dilakukan untuk kebutuhan konten media sosial.
Menurut Johan, tidak sedikit pendaki berjuang untuk merekam dengan apik sejak awal mendaki hingga di titik puncak demi mewarnai media sosialnya. Hal ini menyebabkan pergeseran signifikan dalam makna mendaki gunung.
"Semuanya diabadikan untuk dibagikan, menciptakan citra diri di dunia maya yang serba visual, seolah validasi diri ditentukan oleh jumlah like. Fenomena ini dengan jelas menandai pergeseran signifikan dalam makna mendaki gunung, dari sebuah kebutuhan personal yang intim dan reflektif menjadi sebuah pernyataan publik yang terbuka. Sebuah performa untuk dilihat," ungkap Johan dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, puncak gunung yang seharusnya menjadi tempat kontemplasi dan perenungan kini sering kali menjadi simbol keberhasilan yang wajib didokumentasikan dan dipamerkan, seolah pendakian belum sah tanpa bukti visual yang mengesankan.
Selain itu, ia juga mengaku gelisah sebab para pendaki kini lebih berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan. Siapa yang paling banyak mencapai puncak, siapa yang paling banyak mendapatkan like dari foto matahari terbit di ketinggian seolah pendakian adalah sebuah perlombaan popularitas, bukan perjalanan spiritual.
"Ini bukanlah sebuah kritik terhadap teknologi atau upaya mendokumentasikan perjalanan yang indah. Namun, ini adalah refleksi yang mendalam agar kita tidak kehilangan esensi sejati dari gunung itu sendiri, agar tujuan tidak mengalahkan makna, dan potret tidak menggantikan pengalaman nyata," paparnya.
Ia juga memandang bahwa mendaki gunung saat ini juga telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup kelas menengah urban yang modern. Menurutnya, mendaki gunung bukan lagi sekadar kegiatan, melainkan bagian dari identitas. Sebuah simbol status yang menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai tujuannya.
Johan menambahkan, beberapa jalur pendakian yang populer kini telah menyerupai tempat wisata massal sehingga kehilangan keasliannya dengan antrean panjang para pendaki yang mengular dan spot foto viral yang ramai dikunjungi.
"Esensi petualangan dan keheningan seringkali tergerus oleh keramaian, mirip sebuah mal di atas gunung," tuturnya.
Kondisi itu juga mendorong industri perlengkapan outdoor mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan menciptakan pasar yang menggiurkan. Jaket gunung dengan teknologi canggih, sepatu anti-air yang modis, hingga matras ringan yang inovatif tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat, melainkan telah menjadi simbol status baru bagi para penggunanya yaitu bagian dari "seragam" pendaki kekinian.
"Fenomena ini pada akhirnya mengaburkan batas yang tipis antara pencarian makna yang tulus dan pencitraan diri di mata publik. Sebuah pertanyaan besar muncul dan menggema di benak: apakah kita mendaki karena mendengar panggilan alam yang tulus, atau karena tuntutan algoritma media sosial yang haus akan visual?," ujarnya.
Meskipun begitu, Johan menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan keinginan untuk berprestasi atau terlihat keren di mata orang lain ketika mendaki gunung. Hal itu ia akui sebagai bagian dari fitrah manusia untuk diakui.
"Namun, ada sesuatu yang berharga yang seringkali hilang ketika gunung hanya dipandang dari sudut pandang ini. Esensinya sebagai ruang hening yang mendalam, tempat jiwa menemukan jeda dari segala hiruk pikuk dunia," tuturnya.
Pentingnya Kesadaran akan Budaya Mendaki
Dalam tradisi lokal Nusantara, gunung selalu memiliki tempat yang istimewa dan sakral dalam kepercayaan masyarakat. Ia bukan sekadar benda mati yang menjulang tinggi, melainkan dianggap sebagai makhluk hidup yang dihormati dan dimuliakan, tempat bersemayamnya kekuatan gaib.
Gunung Rinjani, misalnya, bagi masyarakat Sasak di Lombok, bukan hanya sekadar objek pendakian yang menantang adrenalin. Ia adalah ruang sakral yang dijaga dan dihormati secara turun temurun, sebuah warisan leluhur yang tak ternilai harganya, lebih dari sekadar pemandangan.
"Sayangnya, makna-makna luhur seperti ini perlahan-lahan memudar, tergilas oleh derasnya arus pariwisata massal dan konsumsi digital yang semakin merajalela. Keaslian dan kesakralan gunung terancam, berganti dengan hingar bingar komersialisasi," tandasnya.
Dalam dunia yang kian bising oleh citra dan konten, Johan mengajak publik untuk kembali menundukkan kepala dihadapan gunung bukan demi kamera, tapi demi kesadaran.
Menurut Johan, gunung bukan panggung. Melainkan ruang kontemplasi yang mengajarkan kerendahan hati. Ia berharap, di tengah maraknya tren pendakian digital, makna sejati mendaki tak benar-benar hilang, yakni sebagai perjalanan sunyi menuju diri sendiri, bukan sekadar puncak demi pengakuan.
Johan menambahkan, seseorang memiliki alasan mendaki gunung yang berbeda satu sama lain. Menurutnya, ada yang termotivasi untuk menantang diri sendiri, menguji batas kemampuan fisik dan mental mereka. Ada pula yang mendaki untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas yang monoton, atau sekadar ikut-ikutan tren yang sedang populer di masyarakat, seolah tak ingin ketinggalan zaman.
Gunung juga kini menjadi bagian dari narasi-narasi populer yang beredar luas di jagad digital, seperti healing (penyembuhan diri dari stres kota), exploring (menjelajah tempat baru dan diri sendiri), atau self-reward (penghargaan atas kerja keras). Istilah-istilah ini mencerminkan bagaimana mendaki gunung dipandang sebagai bagian dari perjalanan menemukan diri, sebuah eskapisme yang diperbolehkan.
Berangkat dari pengalaman mendalamnya, ia menekankan mendaki gunung adalah aktivitas dengan beragam motivasi, salah satunya menemukan keheningan dari hiruk pikuk perkotaan.
"Beberapa memilih untuk menantang batas diri, menguji ketahanan dan kekuatan mereka di setiap tanjakan terjal. Sementara itu, ada pula yang mendaki untuk menemukan kembali kedamaian yang hilang, sebuah pelarian dari kebisingan dunia, seperti menemukan oase di tengah gurun," tambah Johan.
Mengungkapkan alasannya, Johan menyebutkan bahwa gunung sejatinya menjadikan seseorang untuk menghargai keheningan yang menakjubkan. Bahkan, jika melihat peradaban kuno, puncak gunung seringkali dianggap sebagai kediaman para dewa, tempat para dewa-dewi bersemayam atau sebagai lokasi sakral untuk melaksanakan ritual-ritual suci yang menghubungkan manusia dengan kekuatan Ilahi.
"Tak heran jika gunung telah memiliki daya pikat spiritual yang kuat sejak zaman dahulu kala, mengundang rasa hormat dan kekaguman. Namun, di era modern ini, alasan mendaki gunung bisa jadi lebih praktis dan beragam, jauh dari nuansa mistis masa lalu," sambung Johan.
Simak juga Video 'Waspada Mabuk Ketinggian yang Bisa Terjadi Saat Mendaki Gunung':
(anl/ega)