Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan syarat capres-cawapres berpendidikan paling rendah sarjana atau S-1 sudah tepat. Dede Yusuf mengatakan putusan itu membuka ruang kepada seluruh warga negara tanpa memberikan diskriminasi.
"Jadi, intinya begini, undang-undang mengenai syarat capres-cawapres itu kan memberikan ruang kepada semua warga negara untuk bisa mencalonkan atau dicalonkan tanpa memandang diskriminasi terhadap latar belakang ataupun pendidikan seseorang," kata Dede Yusuf kepada wartawan, Jumat (18/7/2025).
Dede Yusuf menyebut negara-negara maju juga tak menetapkan syarat minimal pendidikan seorang capres atau cawapres. Terpenting, kata dia, sosok capres-cawapres itu warga negara Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, ini juga di berbagai negara, bahkan negara maju pun juga menggunakan hal yang sama. Dia tidak ditetapkan syarat minimal standar pendidikan apakah D-3 apakah S-1 atau yang lainnya," ujar Dede Yusuf.
"Tapi, yang jelas adalah berkewarganegaraan asli itu penting sekali. Kedua, tentu memiliki rekam jejak yang baik, positif, dan tidak ada jejak-jejak yang negatif," tambahnya.
Politikus Partai Demokrat itu melihat kualifikasi yang terpenting dari seorang pemimpin adalah kemampuan berorganisasi. Dede Yusuf tak memungkiri dibutuhkan kemampuan manajerial hingga cara menuntaskan masalah sebagai salah satu faktor pertimbangan.
"Nah, mungkin yang paling penting adalah kemampuan-kemampuan baik berorganisasi, kemampuan manajerial, kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah krisis dan lain-lain. Itu salah satu yang menjadi jejak yang harus dimiliki oleh seorang calon presiden atau wapres," katanya.
Kendati demikian, Dede Yusuf menilai seorang presiden juga baiknya berkomitmen terhadap pendidikan. Dede Yusuf menilai wajah seorang presiden adalah gambaran suatu negara yang dipimpinnya.
"Nah, yang kedua, ini poin yang juga penting dari sisi norma politik, kita melihat bahwa Indonesia ini harus eksis di dunia internasional juga, karena bagaimanapun juga, wajah presiden kita itu adalah wajah negara. Kalau seorang pemimpin besar dari 280 juta rakyat di Indonesia justru tidak menghargai pendidikan, itu seolah-olah juga negara kita tidak menghargai pendidikan," katanya.
"Itu sebabnya, perlu juga pendidikan seorang pemimpin itu memiliki namanya kualitas pendidikan tinggi. Artinya, apa yang dilakukan MK ini sudah tepat, sudah benar, jadi tidak perlu harus mencantumkan, tapi diserahkan kepada rekayasa konstitusi, dalam hal ini adalah DPR, untuk membuat tata aturan persyaratan tersebut," sambungnya.
Putusan MK dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (17/7). Permohonan dengan nomor 87/PUU-XXIII/2025 itu diajukan Hanter Oriko Siregar, Daniel Fajar Bahari Sianipar, dan Horison Sibarani.
Berikut ini petitum gugatan tersebut:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: Pasal 169 huruf r 'berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat'
3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
MK lantas menolak gugatan tersebut. MK menyatakan permohonan itu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo.
Suhartoyo juga menyatakan dirinya memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap perkara ini. Dia mengatakan seharusnya MK tidak menerima perkara tersebut karena, menurutnya, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Simak juga Video 'DPR Kritik Putusan MK: Jangan 500 Anggota Kalah dengan 9 Hakim':
(dwr/rfs)