Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar menjelaskan temuan 17 kasus luar biasa terkait makan bergizi gratis (MBG). Ia mengklaim, dari 17 kasus yang ditemukan, 8 kasus dikategorikan tak termasuk keracunan.
Hal itu disampaikan Taruna Ikrar dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/5/2025). Ikrar menyebutkan 17 temuan kasus itu tersebar di 10 Provinsi RI.
"Pemantauan kasus program makan bergizi gratis seperti yang kami tampilkan sebelumnya, bahwa ada 17 kasus keracunan dan sebetulnya ada 8 kasus non-keracunan," ujar Taruna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, apa bedanya keracunan dengan non-keracunan, tentu artinya kasus itu yang berdampak berdasarkan hasil telusuran setelah terjadi kejadian luar biasa itu, yang intinya ada di 10 provinsi dan itu bisa terlihat di data," tambahnya.
Baca juga: Bos BGN Ungkap Penyebab Keracunan di MBG |
Taruna mengatakan kehadiran pihaknya hingga Badan Gizi Nasional (BGN) di DPR RI bukan itu saling menyalahkan. Menurut dia, perlu ada langkah yang konkret terkait kasus keracunan ini.
"Kami jelaskan bahwa kita belajar, jadi seperti yang bapak pimpinan sebutkan tadi, kita bukan mau saling menyalahkan di sini. Kita mau cari masalahnya di mana dan kita carikan jalan keluarnya," ujar Taruna.
Temuan 17 kasus luar biasa itu dilandasi dari beberapa penyebab. Mulai sumber bahan makanan yang terkontaminasi hingga tempat penyimpanan yang belum tepat.
"Pertama terjadi kontaminasi awal bahan pangan kami temukan itu sumber kontaminasi bahan mentahnya, air bakunya, pencucian, lingkungan pengolahannya, penjamah makanan kurang steril," ujar Taruna.
"Kemudian, kami juga mendapatkan faktor penyebab kedua, yaitu pertumbuhan dan perkembangan bakteri ada pengendalian suhu dan waktu misalnya suhu muncul beberapa bakteri yang bisa muncul karena penyimpanan belum tepat, kondisi makanan dan pengolahan makanan," tambahnya.
Taruna mengatakan ada sanitasi yang belum baik dan berdampak ke keracunan MBG. Monitoring pengawasan MBG, menurut dia, juga mesti ditingkatkan.
"Yang terakhir penyebab dari 17 kasus yang kita temukan itu ada kegagalan pengendalian keamanan pangan yang hubungannya dengan hygiene dan sanitasi, yang kedua pengendalian suhu penanganan makanan dan pengawasan monitoring-nya tidak tepat," imbuhnya.
(dwr/isa)