Melongok Kehidupan Suku Badui

Melongok Kehidupan Suku Badui

- detikNews
Minggu, 27 Mei 2007 07:30 WIB
Banten - Suku Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten sejak dulu terkenal teguh dalam mempertahankan tradisinya. Namun, saat ini kondisinya mulai tertekan akibat hak adat mereka mulai terganggu.Begitulah kira-kira, gambaran kondisi Suku Badui yang mendiami kawasan Pegunungan Keundeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten."Kamari mah sok aya anu ganggu wilayah kami, pan iyeu mah teu meunang, kan aya paraturanana ti pamarintahan, ti bapak gede (Kemarin suka ada yang mengganggu wilayah kita, ini kan sebenarnya tidak boleh, karena sudah ada peraturannya dari Gubernur Banten dan Bupati Lebak)," ujar seorang warga badui yang ditemui detikcom di Kampung Ciboleger, Desa Kanekes, beberapa waktu lalu.Kepala Desa Kanekes Jaro Dainah juga mengungkapkan hal yang sama tentang kondisi di wilayah Badui. Menurutnya, sejak beberapa tahun belakangan kerap terjadi perusakan lingkungan, baik hutan dan tanaman oleh warga di luar badui.Dainah mengatakan, warganya merasa resah melihat kenyataan tersebut, apalagi belakangan beberapa kasus kejahatan juga menimpa warganya. Kerusakan terparah terjadi di wilayah perbatasan Kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang."Kalau ini dibiarkan tentu warga kami jadi sengsara, karena hutan pada gundul dan tanaman banyak yang rusak," ungkap Dainah.Menurut Dainah, warga Badui memang memiliki prinsip hidup cinta damai dan tidak mau berkonflik. Namun begitu, dirinya tetap meminta agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah untuk melindungi warga Badui."Kalau ini tidak ditindak aparat penegak hukum, kami khawatir bisa terjadi kekerasan kepada warga kami," ucap Dainah yang saat ditemui sedang mengenakan baju pangsi hitam dan ikat kepala biru.Selain kerusakan lingkungan, lanjut Dainah, selama ini banyak hewan ternak yang sering masuk ke areal pertanian Badui. Apalagi bila musim kemarau, banyak pemilik hewan melepaskan piaraanya ke kawasan hutan dan pertanian Badui, terutama di sekitar wilayahperbatasan Kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Sobang, Kecamatan Cigembong dan Kecamatan Sobang.Tidak hanya itu, perusakan hutan dan tanaman di kawasan Badui terus berlanjut antara lain di Desa Karangcombong, Desa Parakanbesi, Desa Sukajadi, Desa Kebon Cau dan Desa Nayagati."Bagi kami masalah ini sangat sulit, di satu sisi kami tidak mau ribut dengan warga luar, di sisi lain kehidupan kami semakin terancam dengan rusaknya alam dan tanaman milik kami," imbuh Dainah.Jaro Dainah mengungkapkan, keberadaan hak tanah ulayat (adat) suku Badui sudah diatur melalui Perda No 35/2001 tentang perlindungan atas hak ulayat masyarakat Badui yang dikeluarkan Pemkab Lebak.Masyarakat Badui memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.000 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng. Dalam pasal 1 disebutkan, perlindungan adalah suatu rangkaian kegiatan Pemkab Lebak dan masyarakat dalam menjaga tatanan masyarakat Badui. Sedangkan bagi yang mengganggu, merusak dan menyerobot lahan adat ini akan dikenakan sanksi 6 bulan penjara dan denda Rp 5 juta sesuai pasal 9.Namun kenyataan di lapangan, lanjut Dainah, perda yang merupakan janji 'Bapak Gede' (pejabat) di Rangkasbitung dan Serang hanyalah tulisan di atas kertas putih. Ternyata, masih banyak kegiatan penebangan hutan dan pembuatan kolam dan sawah. Bahkanlahan-lahan tersebut sudah milik orang di luar warga Badui dengan bukti kepemilikan sertifikatnya."Lamun Bapak Gede tidak percaya, silakan lihat di kanyataana (kenyataannya)," kata Jaro Dainah.Suku Badui, Orang KanekesKadang kala suku Badui juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng.Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang. Tidak begitu mengherankan, untuk mencapai lokasi diperlukan waktu sekitar 9 jam, baik berkendaran dan berjalan kaki.Masyarakat suku Badui sendiri terbagi dalam dua kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan Badui Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung.Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Badui Dalam atau Urang Tangtu. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana.Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Badui Dalam menyebut Badui Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan.Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Badui Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih. Sedangkan, Badui Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak batik warna biru.Suku Badui biasa bercocok tanam dan berladang. Selain itu membuat kerajinan seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu. Mereka taat pada tradisi lama dan hukum adat.Masyarakat Badui sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya.Setiap kampung di Badui Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana.Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Badui Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.Keberadaan masyarakat Badui sendiri sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda (Pajajaran) di abad 15 dan 16. Saat itu, kerajaan Pajajaran yang berlokasi di Bogor memiliki pelabuhan dagang besar di Banten, termasuk alamnya perlu diamankan.Nah, tugas pengamanan ini dilakukan oleh pasukan khusus untuk mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan ini yang diyakini sebagai cikal bakal suku Badui.Ada pula yang mempercayai awal kebedaraan suku Badui, merupakan sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia pada Prabu Siliwangi. Mereka melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon. Namun pada akhirnya, mereka dilindungi Kesultanan Banten dan diberi otonomi khusus. (zal/ken)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads