Diskusi PPI Wageningen, Belanda
Prof. Otto: Indonesia Kagetan, Bukan Berkelanjutan
Senin, 23 Apr 2007 12:03 WIB
Wageningen - Ada banjir kaget, ada demam berdarah, kaget, ada polio kaget. Jargon pembangunan berkelanjutan belum terimplementasikan dengan baik.Hal itu dikemukakan Prof.Dr.Ir. Otto Soemarwoto dalam acara diskusi menyambut Hari Kartini dan Hari Pendidikan, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Wageningen di Universitas Wageningen, Belanda (20/4/2007)."Negara kita ini masih suka kagetan. Ada banjir kaget, ada demam berdarah, kaget, ada polio kaget. Itu semua karena kita belum menerapkan pembangunan yang berkelanjutan," kata guru besar emeritus Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu.Menurut Otto, jargon pembangunan berkelanjutan saat ini belum terimplementasikan dengan baik karena belum adanya pemahaman dan tolok ukur jargon tersebut. "Belum ada tolok ukur yang jelas untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Terlebih lagi ada kesalahpahaman sebagian pihak di kalangan pembuat kebijakan, yang menganggap pembangunan berkelanjutan hanya berkutat pada masalah lingkungan," jelas profesor kelahiran Purwokerto, yang menjalani SD di Temanggung dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs MULO/Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) di Jogja.Padahal, lanjut Otto, pembangunan berkelanjutan yang diimplementasikan dalam pembagunan ekonomi misalnya, juga harus pro negara hukum, pro NKRI, pro rakyat miskin, pro kesetaraan gender, pro penciptaan lapangan kerja selain pro lingkungan."Pembangunan ekonomi sendiri juga harus disadari hanya merupakan sarana dan bukan tujuan," tandasnya.Kearifan LokalPada kesempatan yang sama Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng. Sc. dari Universitas Gadjah Mada, menceritakan pengalaman dan hambatan yang dihadapinya saat mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan bidang lingkungan hidup di lapangan. "Saya merasakan sendiri salah satu kendala utama implementasi adalah kecilnya dana yang dianggarkan untuk lingkungan hidup," jelasnya. Ia mengatakan kecilnya dana tersebut membuat para pengambil kebijakan lingkungan hidup di wilayah-wilayah yang luas seperti Kalimantan, tak dapat berbuat banyak. Selain itu, implementasi jargon dalam pembangunan di lapangan juga harus dituangkan dalam bentuk konkrit. "Masyarakat kita masih perlu contoh konkrit di lapangan dan bukan sekadar konsep yang bagus dan indah," urainya.Ia juga mengakui perlunya pembuat kebijakan mengadopsi kearifan local warga setempat. "Mbah Maridjan itu punya kearifan lokal, makanya bisa selamat dari letusan gunung Merapi. Tapi masalahnya bagaimana merumuskan kearifan lokal itu dalam bahasa ilmiah dan akademis," ujarnya.Pada bagian akhir, Rafianti, mahasiswi Universitas Wageningen, memaparkan tesisnya yang berjudul Pengelolaan Sampah Kota melalui pengomposan dengan kasus studi di Cimahi. Dijelaskan, bahwa pengomposan bisa menjad alternatif pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan ekonomis serta memenuhi elemen pembangunan berkelanjutan.
(es/es)