Jakarta -
Analis kebijakan ahli madya pada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Suhardi, mengungkap istilah dana komando atau dako dalam kasus dugaan korupsi pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle. Suhardi mengatakan dako digunakan untuk tunjangan hari raya (THR) pegawai di lingkungan Basarnas.
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas Max Ruland Boseke, mantan Kasubdit Pengawakan & Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) Basarnas tahun anggaran 2014 Anjar Sulistiyono, serta Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta. Persidangan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Istilah dana komando terungkap dari berita acara pemeriksaan (BAP) Suhardi nomor 25. BAP itu menerangkan bahwa dana komando merupakan dana yang dihimpun dari pemenang lelang proyek di lingkungan Basarnas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sini sebagaimana BAP Saudara nomor 25, 'namun saya mendengar dari cerita teman-teman bahwa istilah dako ini merupakan dana yang dihimpun dari penyedia jasa yang memenangkan paket pekerjaan di lingkungan Badan SAR Nasional'. Apa maksudnya ini?" tanya jaksa.
"Jadi di lingkungan kami, Bapak, dana komando itu, saya tidak tahu persis seperti apa tapi memang ada," jawab Suhardi.
Jaksa mencecar Suhardi soal penggunaan dana komando tersebut. Suhardi mengaku mengetahui bila dana komando digunakan untuk THR pegawai di lingkungan Basarnas.
"Yang Saudara pahami aja, dana komando ini merupakan dana apa? Apakah dana yang memang resmi menjadi sumber anggaran dari Basarnas atau Saudara menggunakan ini untuk konteks yang lain? Pengertian yang lain?" tanya jaksa.
"Izin, Bapak, kami pernah ditanyakan oleh penyidik dana komando itu seperti apa, kami bilang tidak tahu. Dilanjutkan dengan THR, kami bilang kami pernah THR, Pak, tapi asalnya dari mana kami tidak tahu bapak," jawab Suhardi.
"Di sini kan Saudara menjelaskan, ini dihimpunnya dari pihak penyedia yang memenangkan paket pekerjaan. Ini berdasarkan informasi juga ini dari rekan-rekan, maksudnya seperti apa?" cecar jaksa.
"Jadi hanya mengalir cerita begitu saja bahwa para pemenang ini nanti akan memberikan dana komando, hanya sampai di situ bapak," jawab Suhardi.
"Yang Saudara ketahui peruntukannya untuk apa?" tanya jaksa.
"Setahu kami untuk THR, Bapak, izin," jawab Suhardi.
"Selain untuk THR?" tanya jaksa.
"Tidak tahu lagi, Bapak," jawab Suhardi.
Ketua majelis hakim Teguh Santoso juga ikut mendalami Suhardi soal dana komando. Suhardi menegaskan bila dirinya tahu soal dana komando dari penyidik KPK saat pemeriksaan kasus ini.
"Karena tadi kan Saudara terangkan bahwa dako itu untuk di antaranya untuk pemberian THR. Apakah dari situ Saudara tahu nggak?" tanya hakim.
"Saya tahunya dari penyidik, Bapak, bahwa dana komando diberikan untuk THR tadi, Bapak," jawab Suhardi.
"Oh tahunya dari penyidik?" tanya jaksa.
"Siap," jawab Suhardi.
Simak juga Video: Eks Kabasarnas Henri Alfiandi Jalani Sidang Dakwaan Kasus Korupsi
[Gambas:Video 20detik]
Hakim lalu mempersilakan jaksa kembali bertanya ke Suhardi. Jaksa menanyakan nominal THR yang pernah diterima Suhardi.
Suhardi mengaku pernah menerima THR sebesar Rp 4-5 juta. Namun, dia tak tahu detail nilai THR untuk staf di bawahnya atau pimpinan di atasnya.
"Apakah ini juga sama diberikan kepada pegawai-pegawai yang lain dengan jumlah yang sama?" tanya jaksa.
"Untuk staf di bawah itu, Bapak," jawab Suhardi.
"Untuk level di atas Saudara apakah jumlahnya sama dengan yang Saudara terima?" tanya jaksa.
"Berbeda tapi saya tidak tahu persis, Bapak, saya tidak pernah menanyakan," jawab Suhardi.
"Itu THR semua?" tanya jaksa.
"Siap," jawab Suhardi.
Jaksa juga mendalami penggunaan lain dana komando selain untuk THR pegawai. Namun, Suhardi mengaku tak tahu.
"Kalau pembagian dana komando Saudara tahu?" tanya jaksa.
"Siap, saya tidak tahu, Pak Jaksa," jawab Suhardi.
Sebelumnya, Max Ruland Boseke, Anjar Sulistiyono dan William Widarta didakwa merugikan keuangan negara Rp 20,4 miliar. Max dkk didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas.
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum," kata jaksa KPK, Richard Marpaung, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11).
Perbuatan ini dilakukan pada Maret 2013 hingga 2014. Jaksa mengatakan kasus ini memperkaya Max Ruland sebesar Rp 2,5 miliar dan William sebesar Rp 17,9 miliar.
"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya William Widarta sebesar Rp 17.944.580.000,00 (Rp 17,9 miliar) dan memperkaya Terdakwa Max Ruland Boseke sebesar Rp 2.500.000.000,00 (Rp 2,5 miliar), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian," ujarnya.
Jaksa mengatakan Max Ruland dan Anjar mengatur William sebagai pemenang lelang proyek pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas. Harga penawaran proyek itu dibuat mark-up 15 persen.
"Bahwa setelah pemaparan tersebut, kemudian William Widarta bersama Riki Hansyah Yudi Muharam (selaku staf marketing CV Delima Mandiri) menyusun penawaran harga, spesifikasi teknis, dan desain gambar kendaraan untuk pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle (RCV) dan pekerjaan pengadaan truk angkut personel 4 WD tahun 2014 sebagai lampiran pendukung term of reference (ToR) dan rencana anggaran biaya (RAB) yang di kemudian diserahkan kepada Hafidh Rahmadi selaku staf perencanaan pada Dirsarpras Basarnas. Dalam penyusunan harga tersebut, telah ditambahkan (markup) 15 persen dengan rincian 10 persen untuk Dana Komando dan 5 persen untuk keuntungan perusahaan pemenang lelang," tutur jaksa.
Pada September 2013, Rudy Hendri Satmoko selaku Direktur Sarpras Basarnas menandatangani ToR Sarana SAR darat untuk pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle (RCV) tahun 2014 dengan harga satuan per unit sebesar Rp 650 juta. Pada Oktober 2013, Rudy Hendro menandatangani ToR sarana SAR darat untuk pekerjaan pengadaan truk personel 4 WD tahun 2014 dengan harga satuan Rp 1,4 miliar.
Jaksa mengatakan pencairan untuk pengadaan truk angkut personel 4 WD sebesar Rp 42.558.895.000 (Rp 42,5 miliar). Namun, pada kenyataannya, yang digunakan hanya Rp 32.503.515.000 (Rp 32,5 miliar).
"Bahwa dari pencairan uang pelaksanaan pekerjaan yang PT Trikarya Abadi Prima untuk pembayaran neto pekerjaan pengadaan truk angkut personel 4 WD tahun 2014 sebesar Rp 42.558.895.000 (Rp 42,5 miliar) ternyata yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan tersebut hanya sebesar Rp 32.503.515.000 (Rp 32,5 miliar) sehingga terdapat selisih sebesar Rp 10.055.380.000 (Rp 10 miliar)," ujar jaksa.
Selain itu, selisih sebesar Rp 10.389.200.000 (Rp 10,3 miliar) juga ditemukan pada pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle. Total pencairan untuk pekerjaan pengadaan itu sebesar Rp 43.549.312.500 (Rp 43,5 miliar) tapi yang digunakan hanya Rp 33.160.112.500 (Rp 33,1 miliar).
"Dan untuk pembayaran neto pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle tahun 2014 sebesar Rp 43.549.312.500 ternyata yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan tersebut hanya sebesar Rp 33.160.112.500,00 (Rp 33,1 miliar) sehingga terdapat selisih sebesar Rp 10.389.200.000 (Rp 10,3 miliar) yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara seluruhnya sebesar Rp 20.444.580.000 (Rp 20,4 miliar)," ujarnya.
Max Ruland dkk didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
Simak juga Video: Eks Kabasarnas Henri Alfiandi Jalani Sidang Dakwaan Kasus Korupsi
[Gambas:Video 20detik]
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini