Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika bicara tentang pentingnya tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Hal itu, kata dia, guna mendukung salah satu program ketahanan energi Indonesia, yakni memproduksi biodiesel.
Hal itu disampaikan Yeka dalam paparannya di acara Penyerahan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik kepada 12 Instansi Terkait: Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit pada Senin (18/11/2024).
"Pengembangan industri biodiesel sangat tergantung pada keberhasilan membangun perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan," kata Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) merupakan bahan baku dalam pembuatan biodiesel. Karena itu, Yeka menyarankan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan biodiesel guna mencapai ketahanan energi.
Perbaikan tersebut meliputi penyusunan peta jalan rencana peningkatan program biodiesel dari B35 ke B40 atau B50 dengan memastikan perihal ketersediaan pasokan bahan baku, dalam hal ini CPO, yang mencukupi; kesiapan infrastruktur produsen biodiesel; optimalisasi uji coba kelaikan penggunaan biodiesel alat transportasi; serta keberlanjutan pengelolaan dana pungutan ekspor produk sawit.
Lebih lanjut, Yeka menyoroti permasalahan anggaran untuk program biodiesel. Di mana jika program biodiesel semakin diperbesar, yakni dari B40 ke B50, maka jumlah ekspor kelapa sawit dikhawatirkan berkurang yang dapat menyebabkan penurunan pendapatan dari ekspor.
Padahal Yeka menuturkan, jumlah biaya insentif yang harus ditanggung untuk program biodiesel, lanjut akan semakin besar. Dengan begitu, bila program biodiesel tidak diikuti dengan pertambahan produktivitas kelapa sawit, maka akan berdampak pada berkurangnya ekspor.
"Kalau ekspor semakin berkurang, maka insentif biodiesel akan semakin menurun dan beban APBN semakin besar. Ini yang harus diperhitungkan secara komprehensif," pungkas dia.
(ond/aik)