Alasan Gugat UU Pilkada
Pemohon menilai Pilkada yang digelar serentak secara nasional seharusnya memberikan kemudahan bagi warga yang tinggal di luar domisili KTP, seperti mahasiswa yang kuliah di wilayah luar KTP mereka, untuk menggunakan hak pilih. Para pemohon mengaku khawatir aturan yang ada saat ini membuat hak pilih mereka terancam tak bisa digunakan dalam Pilkada.
"Pemilu kepala daerah dilaksanakan secara serentak, maka penyelenggaraannya juga mesti tetap melayani dan memenuhi hak pilih setiap warga negara Indonesia, sekalipun pada hari pemungutan suara mengalami keadaan tertentu yang menyebabkan tidak berada bertempat tinggal atau berdomisili di alamat TPS sebagaimana yang terdaftar dalam DPT asal," ujar pengacara pemohon dalam persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sidang, pemohon mengajukan dua usulan agar bisa diakomodir dalam putusan MK. Pertama, mereka meminta agar penyelenggara Pemilu diperintahkan mendata pemilih perantau. Setelah itu, penyelenggara pemilu harus menyediakan surat suara Pilkada daerah asal di TPS tertentu untuk melayani pemilih perantau.
Usul Agar Perantau Dipermudah di Pilkada
Pemohon mengatakan hasil rekapitulasi dari surat suara di TPS para perantau itu akan digabung dengan hasil rekapitulasi suara di daerah asal. Menurut pemohon, hal tersebut dapat menjadi salah satu cara agar warga yang berstatus perantau dapat mencoblos calon kepala daerah sesuai dengan daerah asalnya.
Pemohon juga menyampaikan usulan kedua yang menurut pemohon lebih mudah. Mereka meminta agar warga yang berada di perantauan langsung dianggap pindah domisili sehingga langsung diberi hak memilih di TPS daerah tujuan dan surat surat Pilkada sesuai dengan TPS tempatnya mencoblos pada hari H.
Berikut ini petitumnya:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan frasa di tempat lain dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang 1/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal'.
3. Menyatakan frasa di TPS lain dalam Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang 1/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'di TPS di luar daerah provinsi asal dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal'.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.