Pagi itu, Hikmat tengah berlatih untuk pertandingan yang akan ia berikutnya. Meski dilihat sebagai atlet yang diunggulkan, Hikmat tidak serta-merta menyepelekan siapa saja orang yang akan menjadi lawannya nanti. Kok demi kok ia hempaskan dengan raket di genggamannya. Sesekali Hikmat berteriak saat melakukan jump smash pamungkas.
Hikmat adalah seorang atlet paragames kelas internasional. Namanya semakin dikenal tatkala berhasil membawa pulang medali emas cabang olahraga parabadminton dalam gelaran Paralympic Paris 2024 lalu. Baginya, itu adalah prestasi tertinggi yang pernah diraih. Hikmat mengaku, butuh persiapan panjang untuk menghadapi kompetisi bergengsi ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak jauh dari pusat kota Surakarta, ada sebuah lapangan badminton yang khusus digunakan Hikmat untuk berlatih. Ia tidak pernah absen untuk datang ke lapangan. Ditemani oleh pelatih, Hikmat menghabiskan 3 jam dalam sekali latihan. Sementara untuk menambah kepercayaan dirinya, Hikmat bisa berlatih tiga kali dalam satu hari.
Bukan perkara skill saja, sebagai juru badminton di kelas paragames, ia sering kali khawatir. Tidak jarang dirinya diserang rasa gugup di tengah lapangan. Ia masih saja tidak nyaman tatkala semua mata tertuju kepadanya. Padahal, Hikmat sudah sering naik-turun podium dalam berbagai kelas pertandingan, baik di dalam maupun di luar negeri.
"Kalau persiapan soal mental, dari 2023 saya mengikuti event-event bersama pasangan Mbak Ratri. Ada 14 event yang saya tanding di sana. Itu juga mungkin simulasi buat Paralympic kemarin. Jadi melihat-melihat lawan dari event-event itu," katanya kepada tim Sosok detikcom, Senin (30/9/2024).
Reda Manthovani Jaksa Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung sekaligus Chief de Mission (CdM) kontingen Paralympic Indonesia menyadari hal lain. Ia mengatakan jika seorang atlet Paralympic memang memiliki tantangan lebih dalam hal mental.
Reda mengatakan, perundungan yang bahkan terjadi di masa lampau sangat banyak mempengaruhi performa seorang atlet hingga calon atlet sekalipun. Mereka patah arang saat orang-orang di sekitar memandang sebelah mata tanpa melihat potensi serta bakat yang ada. Hingga akhirnya, para penyandang disabilitas yang menonjol di bidang olahraga pun mengurungkan niat untuk muncul ke permukaan.
"Banyak soalnya sebelum mereka berprestasi. Itu tumbang terlebih dahulu. Karena banyak yang mengolok-ngolok, yang membully. Itu akhirnya jadi mereka membuat mereka malas. Itu lah, dorong lah. Jadi masyarakat hindari untuk membully mereka. Mereka juga sama kita. kita mempunyai hak yang sama. Untuk berprestasi. Untuk hidup di negara ini," kata Reda.
"Nah ini yang perlu didorong ke masyarakat. Bahwa disabilitas ini bukan suatu hal yang memalukan ini. Tetapi ini malah perlu disupport agar mentalnya kuat," lanjutnya.
Hal tersebut diamini oleh Hikmat. Ia merasakan langsung perbandingan tatkala langkahnya pernah tertatih karena adanya perundungan. Meski hal itu ia alami saat masih kecil, efeknya masih ia rasakan hingga kini.
Hingga akhirnya, Hikmat mengetahui cara untuk membuat kata-kata perundungan menjadi motivasi untuk berprestasi. Sadar akan keadaannya, bukan berarti Hikmat harus berdiam diri dan bersembunyi. Pria asal Tasikmalaya itu mengaku, kini dirinya bisa berjalan menegakkan kepala di depan orang-orang yang dulu mengejeknya.
"Negatifnya banyak yang mengejek lah mas. Kamu kok jalannya begitu? Banyak yang bilang kayak gitu. Tapi dibalik tidak kesempurnaan itu saya mau membuktikan disini. Kalau sekarang ya, kalau sudah dapat medali gini pada nyamperin lagi. Tapi tidak ada kata maaf gitu. Tapi ini adalah bentuk dendam positif ya, untuk mencari motivasi," jelas Hikmat.
Kata-kata kuat seperti yang dilontarkan Hikmat tidak tumbuh begitu saja. ia mengaku, ada orang yang selalu memberikan napas semangat sehingga rasa rendah diri tidak semakin kuat menarik diri Hikmat. Orang itu tidak lain adalah Reda Mathovani sendiri.
"Kalau dari pihak CdM ya, benar-benar dari kita persiapan itu benar-benar mensupport banget ke kita. Apalagi sebelum ke Paris, tiga bulan ke Paris itu benar-benar banyak motivasi ke sini. Ke teman-teman semua cabor. Di sana pun di Paris itu juga sama, banyak motivasi, banyak support datang kelapangan. Apalagi itu badminton. Badminton itu pertama main, dari kemarin akhir sampai awal Agustus itu badminton duluan. Jadi CdM itu benar-benar support kita semuanya," ungkit Hikmat.
Peran besar Reda Manthovani sebagai CdM terhadap kuatnya mentalitas para atlet yang diasuhnya juga dirasakan oleh Muhammad Afrizal Shafa. Atlet disabilitas cabang olahraga boccia itu mengaku jika Reda tidak hanya dukungan dari sisi fasilitas, tetapi juga mentalitas.
Pemenang medali perak dan perunggu cabor boccia pada ajang Paralympic Paris 2024 itu membeberkan rahasia di balik permainan apiknya. Rizal mengatakan, ada bisikan dari Reda yang membuatnya bermain lepas tanpa beban.
"Pak Reda kemarin kasih motivasi, jangan takut sama musuh! Pokoknya terus fokus, Bismillah dan bertanding itu Yakin," kata Rizal.
Sambil membenarkan posisi duduk di atas kursi rodanya, Rizal tak dapat berhenti bersyukur atas prestasi yang sudah ia raih. Meskipun belum lama bergabung dalam olahraga yang masih baru di Indonesia ini, ia mengaku senang dengan hasil usahanya selama ini. Tidak lupa, ia memberikan dukungan pada para rekan-rekannya agar nanti dapat menorehkan hasil yang lebih baik lagi. Karena baginya, mimpi merupakan langkah awal untuk mengejar prestasi.
"Cukup bangga dan nggak nyangka mas bisa mendapatkan 2 medali ini . (kemenangan ini dipersembahkan) untuk negara Dan Boccia Indonesia dan kedua orang tua. Pesan-pesan saya, terus jangan patah semangat Untuk meraih apa yang diimpikan," pungkasnya.
(vys/vys)