Staf Direktorat SDM PT Timah Tbk, Eko Zuniarto Saputro, dihadirkan sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Eko mengatakan PT Timah membayar sewa smelter swasta yang diwakili Harvey Moeis dengan harga paling mahal dibanding smelter lainnya.
Ada lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah terkait sewa peralatan processing pelogaman timah. Lima smelter swasta itu adalah PT Refined Bangka Tin (PT RBT) yang diwakili Harvey Moeis, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa dan CV Venus Inti Perkasa.
"Apa yang dikerjasamakan?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terkait sewa peralatan peleburan tepatnya sewa peralatan processing pelogaman," jawab Eko.
"Yang menyewa PT Timah, menyewa smelter para pemilik smelter swasta itu?" tanya jaksa.
"Iya," jawab Eko.
Jaksa lalu menanyakan harga sewa antara lima smelter swasta dengan PT Timah tersebut. Eko mengatakan harga sewa untuk PT RBT sebesar USD 4.000 per metrik ton.
"Untuk RBT waktu itu sebanyak 2.000 USD per jam dengan kapasitas setengah ton per jam atau kalau diekuivalensikan 4.000 USD per metrik ton," jawab Eko.
Eko mengatakan harga sewa untuk empat smelter swasta lainnya lebih murah. Nilainya, kata Eko, sebesar USD 3.700 per ton SN.
"Untuk empat smelter yang lain?" tanya jaksa.
"Keempat yang lain tarifnya 3.700 dolar per metrik ton," jawab Eko.
Jaksa lalu mencecar Eko mengapa ada perbedaan harga sewa tersebut. Eko mengaku tak tahu karena perjanjian kerja sama sudah ada saat dirinya masuk.
"Kenapa berbeda?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Eko.
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa, harga sewa peralatan processing pelogaman timah itu disepakati dalam pertemuan pada Agustus 2018. Nilainya sebesar USD 3.700 per ton Sn di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa.
Sementara itu, khusus PT Refined Bangka Tin yakni smelter yang diwakili Harvey diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton Sn. Akhirnya, nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton Sn.
Harga sewa kesepakatan peralatan processing pelogaman timah itu dibuat tanpa kajian atau feasibility study dengan kajian yang dibuat tanggal mundur (back date). Harvey Moeis merupakan inisiator kerja sama sewa peralatan processing tersebut.
Kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini disebut jaksa mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah yang sebenarnya berasal dari penambang ilegal di wilayah izin usaha PT Timah. Jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
Simak Video: Smelter Harvey Moeis yang Disita Bakal Dioperasikan Kembali Agar Tak Terbengkalai