Laporan dari Den Haag
Fokker, IPTN dan Dirgantara
Jumat, 02 Mar 2007 07:26 WIB

Den Haag - Kebangkitan kembali Fokker seusai perang dunia (PD) II, yang mendapat injeksi dana dari pemerintah Belanda, layak membuat IPTN (kini PTDI) iri. Melengkapi cerita sebelumnya, menurut majalah De Ingenieur edisi 40 (1925), Anton Herman Herard Fokker meninggal di Rumah Sakit Murray Hill, New York. Sepeninggal si jenius kelahiran Kediri itu ke alam baka, industri pesawat yang di Belanda tidak ikut mati, tapi terus bergulir memasuki era modern.Setelah sempat disita dan mesin-mesinnya dikuras pasukan Nazi Jerman dalam PD II, pabrik Fokker seusai perang dengan peralatan seadanya berusaha bangkit lagi dengan menerima order membuat bus dan memodifikasi pesawat ringan. 1951, Fokker memindahkan pabriknya ke Schiphol. Tujuh tahun setelah itu Fokker berhasil menelurkan pesawat generasi Friendship atau populer dikenal dengan tipe F-27, yang mengaplikasikan teknologi turbo propeler. Pesawat ini terbang perdana di 1955. Untuk pengembangan tipe F-27 ini pemerintah Belanda menginjeksi dana 27 juta gulden (kurs masa itu). Setelah itu tipe ini disusul dengan tipe F-28 atau dikenal sebagai tipe Fellowship (1967). Fokker generasi F-27 dan F-28 ini menjadi primadona dan dipakai sebagai armada berbagai maskapai penerbangan di dunia. Tercatat antara lain British Midway Airlines (BMI), KLM, Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara pernah bertahun-tahun mengandalkan pesawat tipe F-27 dan F-28. Merpati bahkan hingga kini masih mempertahankan Fokker dari tipe F-28 dan F-100. Khusus tipe F-100 yang hemat bahan bakar, IPTN Bandung ikut terlibat menggarap beberapa bagian. Selain IPTN, produksi F-100 juga melibatkan Airbus, Shorts, Grumman, Rolls-Royce dan Dowty Rotol. Selain memproduksi pesawat terbang, Fokker juga memasuki teknologi dirgantara yang lebih tinggi: angkasa luar, tepatnya sejak akhir 1960-an, dengan membentuk unit mandiri Fokker Ruimtevaart (Fokker Dirgantara).
(es/asy)