Situasi di Timur Tengah masih memanas setelah pembunuhan para pemimpin Hizbullah dan Hamas. Usulan gencatan senjata di Gaza, Palestina pun berjalan alot. Namun, jika menilik sejarah, Palestina dan Israel pernah hampir berdamai.
Upaya perdamaian itu dilakukan oleh Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organizatio/PLO) sekaligus pendiri Faksi Fatah Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Perdamaian ini pernah diupayakan melalui perjanjian Oslo.
Sebagaimana dicatat Sachin Tiwari dalam bukunya, 'Palestine: From Balfour Declaration to Oslo Accords', perjanjian ini tercetus pada tahun 1993 saat kedua pemimpin tersebut melakukan diplomasi rahasia. Keduanya melakukan perundingan rahasia di Ibu Kota Norwegia, Oslo. Mereka membahas soal Deklrasi Prinsip terkait penyelenggaraan pemerintahan sementara Palestina (Declaration of Principles/DOP) di Gaza.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian pun dibuat. Perjanjian tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi pengakuan antara Israel dan PLO. Bentuknya berupa dua surat, di atas kertas biasa dan tanpa kop surat, tertanggal 9 September namun ditandatangani oleh Ketua Arafat dan Perdana Menteri Rabin masing-masing pada tanggal 9 dan 10 September.
Dalam suratnya kepada Rabin, Arafat menilai penandatanganan DOP akan menandai era baru dalam sejarah Timur Tengah. Arafat kemudian menegaskan komitmen PLO untuk mengakui hak Israel untuk hidup damai dan aman, menerima Resolusi Dewan Keamanan, menolak penggunaan tindak terorisme dan tindakan kekerasan lainnya.
Selain itu, Arafat setuju mengubah bagian-bagian dari Perjanjian Nasional Palestina. Piagam yang tidak sejalan dengan komitmen tersebut. Sementara itu, dalam balasan singkatnya kepada Arafat, Rabin menegaskan bahwa berdasarkan komitmen tersebut, pemerintah Israel telah memutuskan untuk mengakui PLO sebagai perwakilan rakyat Palestina.
Selanjutnya, momen bersejarah itu terjadi pada Senin, 13 September 1993. DOP ditandatangani di halaman Gedung Putih Pemerintah Amerika Serikat. Presiden AS pada saat itu, Bill Clinton menjadi MC sekaligus saksi sejarah perjanjian perdamaian ini. Perjanjian ini bahkan dinilai mengubah wajah geopolitik kawasan Timur Tengah.
Berkat perjanjian ini, Arafat dan Rabin diganjar Nobel Perdamaian bersama dengan Presiden Israel Shimon Peres.
Hasil perjanjian pun mulai diimplementasikan. Namun, ada sejumlah kendala yang membuat perjanjian ini sukar diterapkan.
Perjanjian Oslo berisi tentang pembagian kembali wilayah Palestina yang sudah terpecah menjadi tiga sub-zona, A, B dan C, yang mana seluruhnya dirancang dan dikendalikan oleh pihak Israel karena saat itu Palestina sendiri belum mempunyai peta.
Pembicaraan terkait perdamaian juga terlalu berlarut-larut sehingga tak menghasilkan keputusan apapun. Tak ada opsi kemerdekaan bagi Palestina. Satu-satunya opsi yakni gagasan hidup berdampingan antara dua bangsa di satu negeri.
Seiring berjalannya waktu, perjanjian ini semakin meleset dari visi utamanya untuk mencapai perdamaian. Ada upaya untuk membagi wilayah Hebron setelah pembantaian 29 warga Palestina di Masjid Ibrahimi pada tahun 1994 yang dilakukan oleh ekstrimis Israel, Baruch Goldstein-tindakan yang dilakukan untuk 'melindungi' para pemukim, bukan warga Palestina.
Lama-kelamaan, perjanjian yang sempat dianggap sebagai harapan perdamaian ini terlupakan. Kecamuk perang terus terjadi antara Israel dan faksi Hamas.
Perdamaian antara Palestina dan Israel pun gagal tercapai. Konflik yang terjadi di Gaza, Palestina hingga kini terus terjadi.
Trivia sejarah merupakan artikel yang membeberkan cerita menarik tentang tokoh dan peristiwa sejarah. Seri artikel ini diperuntukkan untuk memperkaya wawasan sejarah pembaca detikcom.
Simak juga Video 'Momen Ribuan Warga Palestina di Khan Younis Dipaksa Israel Mengungsi Lagi':