Jakarta - Pemerintah harus memikirkan nasib para korban pascabencana alam dan musibah kecelakaan. Kalau perlu memotong anggaran pembangunan. Sebab jika korban bencana tak tertangani maka akan menimbulkan gejolak sosial. Bencana alam yang terus menimpa di Indonesia selama beberapa tahun ini, menyebabkan proses recovery para korban bencana dan musibah sebelumnya tidak tertangani dengan baik. Mereka yang tak tertangani akan merasa frustasi dengan berbagai himpitan ekonomi. "Apakah rakyat siap kelaparan? Atau tidak punya tempat tinggal? Ini bisa menimbulkan gerakan sosial. Sudah saatnya pemerintah menganggarkan secara khusus karena selama ini dana penanganan bencana tidak pernah cukup, bahkan sangat tidak cukup," kata pakar Sosiologi dan Antropologi Iwan Said. Jika sudah menghadapi gejolak sosial akibat berbagai himpitan itu, sudah tidak mungkin lagi diselesaikan dengan cara represif dari aparat keamanan. "Apakah dilawan dengan senjata? Kita tak ingin kan polisi atau tentara kita menjadi pembunuh," kata Iwan yang juga guru besar di Tamashat University di Bangkok Thailand saat dihubungi
detikcom di Jakarta, Jumat (23/2/2007).Selama ini, ada kesan pemerintah selalu memikirkan pembangunan secara fisik, sehingga menafikkan pembangunan sosial. Pemerintah harus berani berani mengubah struktur anggaran yang lebih berpihak kepada penanganan masalah sosial. "Itu terjadi karena manajemen anggaran kita adalah sisa peninggalan kolonial," tutur Iwan.Selama ini anggaran negara lebih banyak dihabiskan untuk belanja rutin dan juga pembangunan secara fisik. "Sedikit sekali anggaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana dan masalah sosial," tukasnya.Selain itu, ada kesan selama ini, legislatif selalu memotong-motong anggaran yang diajukan pemerintah. Padahal bukan itu sebenarnya tugas legislatif, namun hanya menyetujui. Jika memang ada penyelewengan sudah ada lembaga audit seperti BPK. "Akhirnya jika menangani bencana selalu diajukan lagi ke DPR. Ini perlu proses lagi," papar Iwan.Bencana gempa di Nabire, tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, tsunami di Pangandaran lalu bencana lumpur Lapindo, dan berbagai kecelakaan transportasi, semuanya mengakibatkan
social loss yang mungkin bisa sebesar 3 kali APBN. "Ini tidak hanya menyisakan duka tapi juga masalah sosial," kata Master Antropologi dari Yerussalem University ini.Pria yang juga memegang gelar master dari Harvard University ini mengatakan, bencana alam yang terjadi sejak tahun 2004 bukan karena salah siapa-siapa. Ini merupakan siklus 15.000 tahun, ketika itu lempeng di Asia masih menjadi satu, lalu kemudian terpecah-pecah menjadi beberapa pulau. "Jadi jangan menyalahkan siapa-siapa atau malah mengarahkan pada hal yang berbau klenik," urainya.Lalu bagaimana? Menurut Iwan, dengan kondisi saat ini sudah seharusnya para akademisi dan pemerintah untuk kembali duduk bersama. "Kita semua harus memikirkan untuk melakukan perubahan dengan memotong anggaran pembangunan, untuk digunakan pada kepentingan sosial," ujarnya.
(mar/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini