Kasus Prostitusi Anak Bagai 'Gunung Es', KPAI Harap Makin Serius Dibongkar

Farih Maulana Sidik - detikNews
Jumat, 19 Jul 2024 11:16 WIB
Ketua KPAI Ai Maryati (Foto: dok. Istimewa)
Jakarta -

Kondisi mengkhawatirkan akan prostitusi anak terselip menjelang peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli mendatang. Faktanya, masih ada anak Indonesia yang tidak bisa menikmati indahnya masa-masa ini karena terjerat prostitusi anak.

Ketua KPAI Ai Maryati menyebut berdasarkan data KPAI sejak 2020 kasus prostitusi anak sebenarnya terus menurun. Namun, dia tetap menyayangkan kasus-kasus anak menjadi korban prostitusi masih terus terjadi hingga bagai fenomena gunung es.

"Tentu ini sangat membuat kita semua khawatir, karena walaupun trennya sejak tahun 2020 ini menurun, tapi angka-angka ini kan bukan angka yang diam. Mereka fenomena gunung es, itu hitungan kasus, bukan korban. Bisa saja satu kasus itu korbannya sampe 5 orang, 10 orang. Sehingga bagi kami memang kepentingan mendata ini adalah menjadi medan kita, peta kita untuk menuju pada penyelesaian perlindungan anak karena mereka berada di dalam situasi dan kondisi yang sangat kompleks," kata Ai Maryati kepada wartawan, Kamis (18/7/2024).

Berdasarkan data 2023, KPAI mencatat ada 147 kasus prostitusi anak. Data jumlah tersebut, sebanyak hampir 60 persen adalah anak korban prostitusi jaringan dan non-jaringan.

"Kenapa kami membedakan? Karena ini tantangan perlindungan anak itu, pertama mereka korban langsung. Kedua anak-anak ini ada upaya untuk memanfaatkan teknologi untuk mereka masuk dalam dunia prostitusi sehingga tidak membutuhkan mucikari ataupun germo," ucapnya.

Atas masih banyaknya kasus prostitusi anak, Ai Maryati berharap penegak hukum, khususnya kepolisian, bisa lebih serius dalam membongkar dan menangani kasus-kasus anak korban prostitusi. Dia menyebut dalam penanganan kasus prostitusi anak, pihak 'pelanggan prostitusi' kerap tidak diproses hukum.

"KPAI minta ini harus diseriusi karena walaupun mereka beralasan tidak tahu usia anak, lalu mereka beralasan 'ya hak saya dong mau mencari kesenangan, hiburan, ya saya nggak tahu itu usia anak'. Itu sebenarnya nggak bisa argumentasi seperti itu ketika ini tuh betul-betul wilayah pelanggaran hukum, apalagi itu adalah hak anak terutama," ujar Ai.

Kedua, Ai menyoroti banyaknya kasus prostitusi anak yang juga menyalahgunakan transaksi elektronik dan media. Menurut Ai, pesat teknologi membuat 'transaksi seks' tidak melulu berbayar secara cash atau transfer via bank konvensional.

"Tapi bisa jadi dengan dana e-wallet, kripto, anak-anak ini bisa main game nonstop karena dengan top up oleh orang-orang tertentu. Ini menunjukkan penyalahgunaan IT sangat besar," ungkapnya.

"Kalau itu tidak dihentikan oleh yang memiliki kewenangan, misalnya pemblokiran rekening, pemblokiran uang-uang digital oleh PPATK misalnya, kita akan terus lengah karena tidak terbukti 'tidak ada transaksi kok di ATM anak ini'. Siapa yang beli seks? Padahal transaksinya jelas ada top up di nomor HP yang bersumber dari bitcoin atau apa yang hari ini luar biasa variannya," tambahnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya:

Saksikan juga 'Di Balik Prostitusi Warkop Pangku':






(fas/imk)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork