Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais memaparkan temuan sementara berbagai permasalahan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2024/2025 di 10 provinsi. Salah satunya sekolah yang hanya menerima anak PNS dan pegawai BUMN.
"Ini adalah hal-hal yang memang cukup menonjol. Karena kalau ditanya 'Apakah tidak ada temuan semua provinsi?' Jawabannya ada. Akan tetapi, ini yang cukup menonjol karena yang lain masalah klasik temuannya," kata Indraza dilansir Antara, Jumat (5/7/2024).
Indraza mengatakan temuan itu berasal dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara. Secara garis besar, katanya, Ombudsman menemukan permasalahan terkait dengan kesalahan prosedur, manipulasi dokumen, dan diskriminasi calon peserta didik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indraza menjelaskan permasalahan yang ditemukan di Aceh adalah kurangnya sosialisasi, penambahan rombongan belajar (rombel), dan penambahan jalur masuk madrasah di luar prosedur. Di Riau, Ombudsman menemukan adanya diskriminasi dalam jalur perpindahan orang tua dan tahap pengumuman yang dinilai tidak transparan.
Dia mengatakan ada diskriminasi dalam jalur perpindahan orang tua di Riau. Dia menyebut sekolah hanya menerima anak dari orang tua yang ASN atau dari BUMN.
"Padahal, di situ ada juga BUMD dan wiraswasta, itu tidak diterima," ucap Indraza.
Berikutnya, terdapat penanganan pengaduan masalah PPDB yang tidak optimal di Banten. Menurut Ombudsman, hal ini terjadi karena petugas kurang kompeten sehingga menghambat penerimaan siswa baru.
Ombudsman juga menyoroti adanya aplikasi PPDB yang eror serta minimnya pengawasan di Jawa Barat. Dia juga menyebut lembaganya menemukan jalur masuk PPDB di luar prosedur dan pemalsuan piagam prestasi di Jawa Tengah.
Aplikasi PPDB yang bermasalah juga ditemukan di Bali. Selain itu, Ombudsman menemukan adanya penyalahgunaan jalur afirmasi di provinsi tersebut, yakni dengan menambah jumlah SMA 'fiktif'.
Dia mengatakan dinas pendidikan setempat memiliki niat yang baik dengan menambah daya tampung SMA. Namun ternyata, bangunan SMA-nya belum ada.
"Jadi, mereka menumpangkan dengan SMA-SMA lain. Itu menjadi protes bagi asosiasi SMA swasta. 'Kenapa nggak kami yang dirangkul? Kenapa harus buat sekolah tambahan seperti itu? Yang akhirnya diselesaikan oleh dinas, antara dinas dan asosiasi sekolah swasta," ujarnya.