Pengaturan waris di Indonesia menganut beragam rezim hukum. Salah satu yang masih diakui yaitu pewarisan sesuai hukum perdata Barat.
Salah satunya ditanyakan oleh pembaca detik's Advocate. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Ibu tiri saya menikah dengan bapak saya dan kami hidup rukun, sampai bapak saya meninggal dan setelahnya ibu tiri saya meninggal. Ibu tiri saya mempunyai adik yang tidak menikah dan meninggal sebelum ibu tiri saya. Dengan bapak saya ibu tiri saya tidak mempunyai keturunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat meninggal ibu tiri saya tidak menuliskan wasiat atau apapun mengenai rumah yang kami tinggalkan yang mereka (ibu tiri dan adiknya) mendapat dari warisan ibu mereka/nenek tiri saya. Semua saudara kandung sedarah dengan Ibu tiri saya tidak mempermasalahkan rumah tersebut dan ikhlas memberikan kepada kami anak tiri dari ibu tiri saya.
Pertanyaannya:
Bagaimanakah status hukum kami anak tirinya?
Karena tidak ada perselisihan, bagaimanakah cara mengurus peninggalan ini yang benar menurut hukum.
Terimakasih atas waktu dan tanggapannya.
Salam
WPFA
Untuk menjawab pertanyaan itu, kami meminta pendapat hukum dari advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut jawaban lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Terdapat tiga penggolongan penduduk sehubungan dengan aturan hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia, yaitu golongan Penduduk Asli (Pribumi), golongan Keturunan Eropa dan Keturunan Tionghoa, serta golongan Timur Asing lainnya (Keturunan Arab, Keturunan India, dan lain sebagainya). Kemudian, terdapat tiga aturan hukum tentang waris yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata Barat, dan Hukum Waris Adat. Kami mengasumsikan Saudara tunduk kepada ketentuan Hukum Waris Perdata Barat.
Mengacu kepada pertanyaan di atas, kedudukan Saudara adalah anak tiri, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah anak bawaan suami atau istri yang bukan hasil perkawinan dengan suami atau istri yang sekarang. Dengan kata lain, Saudara tidak mempunyai hubungan darah dengan ibu tiri.
Oleh karena tidak memiliki hubungan darah dengan ibu tiri, maka kedudukan Saudara bukanlah sebagai ahli waris dari ibu tiri yang berhak mewarisi harta peninggalannya sebagaimana ketentuan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan :
"Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu"
Dari pertanyaan Saudara juga, kami mengasumsikan bahwa rumah peninggalan sudah menjadi hak dari ibu tiri dan adiknya yang saat ini sudah meninggal. Almarhum adiknya tidak menikah dan tidak mempunyai keturunan. Kedua orang tua dari ibu tiri juga sudah meninggal dunia. Selain itu, diketahui bahwa saudara-saudara kandung sedarah dari ibu tiri dan adiknya yang sudah meninggal tersebut, seluruhnya masih hidup.
Menurut ketentuan Pasal 832 Ayat (1) KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik yang sah maupun luar kawin, serta suami atau istri yang hidup terlama. Lebih lanjut, Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata mengatakan, untuk menetapkan siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang, anggota-anggota keluarga si meninggal (pewaris) dibagi ke dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain tidak mendapat bagian apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil sebagai ahli waris, dan seterusnya.
Untuk itu, terdapat empat golongan ahli waris, yang lebih didahulukan hak warisnya berdasarkan urutannya, yaitu :
1. Golongan I : Suami / istri yang hidup terlama berserta anak keturunannya;
2. Golongan II : Orang tua dan saudara kandung pewaris;
3. Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua pewaris;
4. Golongan IV : Paman dan bibi pewaris, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Berdasarkan hal di atas, dihubungkan dengan fakta yang Saudara sampaikan dalam pertanyaan, maka menurut pendapat kami yang berhak mewarisi rumah peninggalan adalah saudara-saudara kandung sedarah dari ibu tiri dan almarhum adiknya tersebut.
Namun demikian, oleh karena saudara-saudara kandung sedarah tidak mempermasalahkan dan mengikhlaskan rumah tersebut untuk Saudara, maka kami menyarankan pertama-tama agar saudara-saudara kandung sedarah dari ibu tiri dan almarhum adiknya, membuat Surat Keterangan Waris terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk syarat balik nama sertipikat tanah atas rumah peninggalan.
Setelah rumah peninggalan tersebut telah beralih menjadi milik saudara-saudara kandung sedarah dari ibu tiri dan almarhum adiknya, barulah mereka keseluruhan dapat menghibahkannya kepada Saudara. Hibah secara hukum memiliki kekuatan yang sah untuk mengalihkan kepemilikan atas tanah dan bangunan.
Penghibahan menurut ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui penghibahan selain hibah yang dilakukan diantara orang-orang yang masih hidup.
Saudara dapat membuat akta hibah pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai landasan peralihan hak atas tanah sebagaimana ketentuan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) yang menyatakan :
"Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku"
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
![]() |
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'COD Itu Wajib Bayar':