Mantan anggota DPR RI Aditya Anugrah Moha mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Eks terpidana kasus suap 'selamatkan ibu' ini mengajukan gugatan karena merasa terhalangi aturan untuk maju sebagai calon kepala daerah.
Dilihat dari situs MK, Rabu (26/6/2024), perkara tersebut telah diregistrasi dengan nomor 54/PUU-XXII/2024 tanggal 25 Juni 2024. Aditya mengajukan gugatan terhadap pasal Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 56/PUUXVII/2019 tanggal 11 Desember 2019.
Berikut ini isi pasal yang telah diubah MK tersebut:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
...
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang
Dalam berkas permohonannya, Aditya merasa haknya sebagai warga negara terhalangi dengan keberadaan pasal itu. Dia juga mengungkit bahwa dirinya gagal menjadi calon anggota DPD karena terganjal aturan soal mantan terpidana nyaleg.
"Bahwa sekalipun pemohon pada Pemilu Tahun 2024 tidak dapat mengikuti kontestasi Pemilu Anggota DPD, kini pemohon hendak menggunakan hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia untuk mengikuti kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024, dengan terlebih dahulu mendaftar sebagai calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah," ujarnya.
Aditya juga mengklaim namanya mencuat untuk didukung dalam pilkada di Sulawesi Utara. Dia merasa keberadaan syarat 'telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara' mengganjal langkahnya menjadi calon kepala daerah.
Aditya menyatakan telah bebas dari penjara sejak 7 Oktober 2021. Artinya, Aditya baru memasuki tahun ke-3 setelah bebas dari pidana saat masa pendaftaran calon kepala daerah pada Agustus 2024. Aditya juga menyatakan hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan juga 'PDIP Ingin Kadernya Maju Pilgub Jakarta Meski PKS Usung Anies-Sohibul':
Berikut ini petitumnya:
1. Mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898 sebagaimana telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tanggal 19 Desember 2019 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ...
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; iii) bagi mantan terpidana yang tidak dicabut hak politiknya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak harus melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, sepanjang wajib secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Vonis Aditya Anugrah Moha
Aditya Anugerah Moha divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan. Dia terbukti memberikan suap senilai total SGD 120 ribu kepada eks Ketua PT Manado Sudiwardono untuk memengaruhi putusan tingkat banding terhadap ibunya, Marlina Moha Siahaan.
"Menyatakan bahwa Terdakwa Aditya Anugerah Moha telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata ketua majelis hakim, Mas'ud, membacakan surat putusan terhadap Aditya di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Rabu (6/6/2018).
Atas putusan ini Aditya tak mengajukan permohonan banding. Dia mengatakan menerima putusan ini sebagai konsekuensi memperjuangkan harkat dan martabat ibunya.