Mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC) Djoko Dwijono menghadirkan Direktur PT Risen Engineering Consultants, Josia I Rastandi, sebagai saksi meringankan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II atau Tol Layang Mohammed Bin Zayed (MBZ) tahun 2016-2017. Josia mengatakan nilai lendutan hasil uji beban pada Tol MBZ adalah 59 sementara pada perencanaan 65.
Mulanya, ketua majelis hakim Fahzal Hendri bertanya ke saksi fakta meringankan lainnya yang dihadirkan Djoko yakni Dosen Fakultas Teknik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Bambang Suhendro. Hakim menanyakan uji beban yang dilakukan pada Tol MBZ.
"Jadi diujilah, diteslah dulu, dinaikkan truk berapa unit pak?" tanya hakim dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Kamis (6/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"12 unit beratnya 30 ton. Truknya dimuati dengan pasir," jawab Bambang.
Bambang mengatakan setiap truk itu bermuatan 30 ton. Dia mengatakan pengujian tahap pertama dimulai dengan menaikan 4 truk berbaris ke posisi tengah Tol MBZ.
"Berapa 1 truk pak?" tanya hakim.
"30 ton, penuh satu bentang 60 meter itu penuh 12 truk tapi memasukan truk itu bertahap, Yang Mulia," jawab Bambang.
"Jadi sekali berjejer naik ke atas gitu?" tanya hakim.
"4 naik ke atas dulu itu kita beri nama tahap satu, itu kita hentikan kita ukur semua respons lendutan yang turun itu berapa mili, ada sensor untuk mengukur itu," jawab Bambang.
"Itu sudah beban dengan truknya atau bebanya isinya aja yang 30 ton?" tanya hakim.
"Sudah total, sudah termausk truknya," jawab Bambang.
"Di posisi mana berhentinya?" tanya hakim
"Di tengah," jawab Bambang.
"Di Km berapa?" tanya hakim.
"Bukan, satu bentang 60 meter itu 4 truk tadi masuk ke atas dan berhenti di tengah," jawab Bambang.
Hakim lalu menanyakan siapa yang menentukan posisi berhentinya truk saat uji beban tersebut. Hakim mencecar Bambang mengapa posisi titik penghentian truk itu tak dilakukan secara acak.
"Sebentar dulu pak professor, itu titik di tengah itu siapa yang menentukan? Diambil secara acak kah atau sudah ditentukan titik pengujiannya itu?" tanya hakim.
"Titik yang di tengah?" timpal Bambang.
"Ya tempat berhentinya stopnya 4 truk tadi Pak," kata hakim.
"Jadi sebelum uji beban, pada proposalnya yang kita periksa itu sudah disimulasikan dengan komputer," jawab Bambang.
"Bukan, yang posisi tadi, posisi tempat berhentinya truk di posisi tengah jalan itu tadi pak. Apakah itu diambil secara acak kah atau sudah ditentukan titiknya di mana truk itu berhenti?" cecar hakim.
"Sudah ditentukan karena titik itu menyebabkan jembatan kita paling besar lendutannya," jawab Bambang.
"Kenapa tidak diambil secara acak? Umpamanya di posisi KM 2 umpamanya," timpal hakim.
"Ini satu bentang Yang Mulia, bukan keseluruhan tapi satu bentang itu dipilih lalu kita uji satu bentang saja," jawab Bambang.
Hakim menyinggung kasus korupsi pada proyek pembangunan jalan. Hakim mengatakan titik pengujian jalan biasanya telah ditentukan lebih dulu agar hasil uji sesuai standar.
"Maksud saya begini lho Pak kan kita tidak pungkiri juga itu di dalam persidangan-persidangan perkara korupsi khususnya terhadap pembangunan jalan atau jembatan itu tempat pengujian itu sudah ditentukan titiknya pak. Kalau diuji di situ titiknya begitu lho, tapi titik yang diuji itu sesuai dengan standar, itu lho maksudnya. Jadi kalau diuji ya sesuai lah dengan spek kan begitu, tetapi kalau diuji di posisi yang lain pak, baru ketahuan, itu maksudnya pak. Jadi pertanyaan saya bukan ndak ada maksudnya, gitu lho Pak. Ada maksudnya di situ," kata hakim.
Hakim kembali mencecar Bambang terkait alasan penghentian truk saat uji beban dilakukan pada posisi tengah Tol MBZ. Bambang mengatakan uji beban itu dilakukan oleh PT Risen Engineering Consultants, sementara dirinya hanya berperan mendampingi.
"Jadi tadi bapak jawab dulu, nentukan titik tadi, titik awal tadi, kemudian dari mulai titik awal itu kemudian rentang-rentang berapa berapa meter itu kan pak. Yang nentukan itu dari kontraktor pelaksana kah? atau dari bapak sendiri ? atau dari KKJT?" tanya hakim.
"Jadi kita memberikan kriteria Yang Mulia, kriteria itu setiap bentang yang berbeda harus diwakili satu bentang diuji, kriteria. Lalu, yang penyangganya beda juga termasuk kriterianya beda ya diuji, ada wakilnya," jawab Bambang.
"Saudara, Prof dengan Pak Jamasri mengamati aja kan?" tanya hakim.
"Kami mendampingi supaya proposal uji beban itu sesuai diimplementasikan di lapangan," jawab Bambang.
Hakim lalu beralih bertanya ke Josia yang merupakan Direktur PT Risen Engineering Consultants. Josia mengatakan nilai lendutan hasil uji beban itu 59 sementara pada perencanaan 65.
"Berdasarkan teori yang dilakukan oleh konsultan Yang Mulia, seperti yang saya sampaikan itu nilainya adalah 65 teoritisnya, hasilnya adalah 59 artinya lebih rendah," kata Josia.
Hakim menanyakan nilai lendutan 59 itu lantaran lebih kecil dari angka perencanaan. Josia mengatakan jika nilai lendutan itu semakin kecil berarti lebih bagus lantaran semakin kaku.
"Berarti kan tidak sesuai dengan speknya gitu lho pak?" tanya hakim.
"Justru kalau di bawah lebih baik Yang Mulia, karena harusnya dia melendut 65 yang ada adalah 59," jawab Josia.
"Di bawah nilai itu bagus maksudnya?" tanya hakim.
"Bagus, lebih kecil kan, artinya dia lebih kaku," jawab Josia.
Dalam kasus ini, mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (JJC) periode 2016-2020 Djoko Dwijono didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 510 miliar dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol layang MBZ tahun 2016-2017. Jaksa mengatakan kasus korupsi itu dilakukan secara bersama-sama.
Jaksa menyebut kasus korupsi tersebut dilakukan Djoko bersama-sama dengan Ketua Panitia Lelang di JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT. Bukaka Teknik Utama sejak tahun 2008 dan Kuasa KSO Bukaka PT KS Sofiah Balfas serta Tony Budianto Sihite selaku Team Leader Konsultan perencana PT LAPI Ganesatama Consulting dan Pemilik PT Delta Global Struktur. Masing-masing dilakukan penuntutan di berkas terpisah.
"Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 (Rp 510 miliar)," ujar jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 14 Maret lalu.
Simak Video 'Momen Debat Terdakwa dan Ahli di Sidang Kasus Korupsi MBZ':