PBB menyatakan tanggal 15 Mei diperingati sebagai Hari Nakba. Menurut situs berita DW, istilah Nakba atau al-Nakba ini mengacu pada nasib warga Palestina yang kehilangan tanah airnya selama konflik dan perang Arab-Israel tahun 1948.
Diperkirakan sekitar 700.000 orang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Israel melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka. Banyak pengungsi Palestina di luar negeri yang tidak memiliki kewarganegaraan hingga saat ini.
Berikut ulasan singkat tentang Hari Nakba tanggal 15 Mei.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Hari Nakba 15 Mei
Dilansir situs berita DW, tanggal 15 Mei 1948 adalah awal perang Arab-Israel. Tanggal 15 Mei juga diperingati sebagai Hari Nakba dan telah lama menjadi hari di mana warga Palestina turun ke jalan untuk memprotes pengungsian mereka.
Pada peringatan Hari Nakba, banyak di antara mereka yang membawa bendera Palestina, membawa kunci rumah lama mereka atau membawa spanduk dengan simbol kunci, yang menggambarkan harapan untuk kembali ke rumah mereka dan apa yang masyarakat anggap sebagai hak mereka untuk kembali.
Di masa lalu, beberapa protes berubah menjadi bentrokan dengan kekerasan. Israel menuduh Hamas dan organisasi lain yang terdaftar di UE dan negara-negara lain sebagai organisasi teror yang menggunakan hari tersebut untuk mencapai tujuan mereka.
Istilah Hari Nakba diciptakan pada tahun 1998 oleh pemimpin Palestina saat itu, Yasser Arafat. Ia menetapkan tanggal tersebut sebagai hari resmi peringatan hilangnya tanah air Palestina.
Alasan Pemindahan Warga Palestina
Sampai akhir Perang Dunia I, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki sebagai bagian dari Kekaisaran Ottoman. Palestina kemudian jatuh di bawah kendali Inggris, yang disebut British Mandate.
Adanya kekuasaan Nazi di Jerman tahun 1930-an membuat semakin banyak warga Yahudi di Eropa lari dari dan pergi ke Palestina. Kedatangan warga Yahudi menyulut konflik lokal dengan warga Palestina, sekalipun baik warga Yahudi maupun warga Palestina juga mengadakan perlawanan terhadap "kekuasaan kolonial" Inggris.
Namun, masing-masing kelompok punya tujuan berbeda, di mana pihak Palestina ingin mendirikan negara merdeka Palestina-Arab, sementara warga Yahudi bermaksud mendirikan negara sendiri.
Selama periode itu, jumlah orang Yahudi dari seluruh dunia yang pindah ke Palestina meningkat. Bagi mereka, Palestina adalah tanah air leluhur mereka: Eretz Israel, Tanah Perjanjian tempat orang Yahudi.
Setelah peristiwa Holocaust di Nazi Jerman, Rencana Pembagian Palestina oleh PBB diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Liga Arab menolak rencana tersebut, sedangkan Badan Yahudi untuk Palestina menerima. Lalu, pada tanggal 14 Mei 1948, negara Israel dideklarasikan.
Sebagai reaksinya, koalisi lima negara Arab menyatakan perang tetapi dikalahkan oleh Israel pada tahun 1949. Pada akhir perang, Israel menguasai sekitar 40% wilayah yang awalnya diperuntukkan bagi Palestina berdasarkan rencana pembagian PBB tahun 1947.
Sebagian besar warga Palestina menjadi pengungsi tanpa kewarganegaraan di negara-negara Arab, sebagian kecil pindah lebih jauh ke luar negeri, dan sebagian kecil dari generasi penerus Palestina mengajukan atau menerima kewarganegaraan lain.
Namun, sebagian besar dari 6,2 juta warga Palestina di Timur Tengah tetap tidak memiliki kewarganegaraan hingga generasi ketiga atau keempat.
Menurut badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, sebagian besar warga Palestina di Timur Tengah masih tinggal di kamp-kamp pengungsi yang seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi kota-kota pengungsi. Mereka sebagian besar berada di Jalur Gaza, Tepi Barat yang diduduki Israel, di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Yerusalem Timur.
Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 194 tahun 1948, Resolusi PBB 3236 tahun 1974, dan Konvensi Status Pengungsi tahun 1951, warga Palestina yang dianggap sebagai pengungsi Palestina memiliki "hak untuk kembali".
Namun, Israel menolak "hak untuk kembali" bagi warga Palestina, dan menyatakan bahwa hal tersebut dapat menandakan berakhirnya identitas Israel sebagai negara Yahudi. Israel juga membantah bertanggung jawab atas perpindahan warga Palestina, dengan menyatakan bahwa antara tahun 1948 dan 1972 sekitar 800.000 orang Yahudi diusir atau harus melarikan diri dari negara-negara Arab seperti Maroko, Irak, Mesir, Tunisia dan Yaman.
(kny/imk)