Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat bahwa kondisi cekungan air tanah (CAT) di Jakarta saat ini sudah memasuki zona kritis. Walhi meminta Pemprov DKI Jakarta memaksimalkan ruang terbuka hijau (RTH).
Walhi mencatat bahwa eksploitasi air tanah saat ini tercatat sudah mencapai 40 persen, dari batas aman 20 persen. Jika tak dicarikan solusi, kerusakan ini katanya akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan, seperti kontaminasi air akuifer di bagian atas dan bawah hingga penurunan permukaan tanah atau land subsidence.
"Ketika dieksploitasi berlebih, maka penyajian tanah di Jakarta itu sudah kehilangan kemampuannya untuk menopang tanah," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitria Tanjung, ketika diwawancarai media, Jumat (10/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak yang paling terlihat, kata Suci, yakni kondisi geologi di Jakarta Utara, di mana tanahnya sudah berada 4 meter di bawah permukaan air laut. Suci mengatakan salah satu cara mengendalikan penurunan tanah ini yakni dengan mengendalikan pengambilan air tanah dalam.
Ia juga mengatakan bahwa beberapa tahun lalu memang terbit aturan tentang zona bebas air tanah, utamanya di wilayah-wilayah protokol seperti daerah Kuningan. Namun, sambung Suci, hal itu saja belum cukup, mengingat 90 persen permukaan tanah di Jakarta tertutup beton.
"Maka kami Walhi Jakarta mendorong pemerintah untuk memaksimalkan ruang permukaan hijau," kata Suci.
Selain itu, katanya, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam tata kelola air untuk kebutuhan Jakarta. Berdasarkan data dari PAM Jaya pada 2023, kebutuhan air di DKI Jakarta saat ini mencapai 24.000 liter per detik, sementara kapasitas produksi PAM Jaya hanya sebesar 20.225 liter per detik.
Kekurangan ini katanya, tentu mengakibatkan defisit kebutuhan air bersih sekitar 4,000 liter per detik. Di sisi lain, menurut laporan yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2022, persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan mencapai sekitar 97,93 persen, sementara cakupan layanan air bersih hanya sekitar 65,41 persen.
"Jadi sangat jauh dari cukup. Kurang sekali untuk memenuhi kebutuhan per kapita Jakarta," kata Suci.
Sementara itu, Ketua Indonesian Water Institute Firdaus Ali menilai, perlu adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi dan pembangunan jaringan baru pipa distribusi untuk mencukupi kebutuhan air bersih di Jakarta.
Dikatakan bahwa, Pemprov DKI melalui BUMD PAM JAYA memberi target tercapainya 100 persen penggunaan pipa akses air bersih pada 2030. Namun, untuk mencapai target ini dibutuhkan peralihan dari masyarakat ataupun pemilik gedung untuk beralih dari air tanah ke air bersih perpipaan, serta investasi yang besar yang dibutuhkan untuk menyambungkan perpipaan ke kawasan-kawasan yang cenderung lebih sulit dijangkau.
Menurut Ali, persoalan tersebut bisa teratasi asal pemerintah terlebih dahulu membuat jaringan perpipaan secara merata, untuk kemudian membuat aturan jelas. Jika hanya memberi larangan tanpa memberikan solusi, hal ini tentu akan menimbulkan reaksi.
"Selama air perpipaan tidak cukup, ya tidak mungkin kita merealisasikan upaya pengendalian permukaan tanah tadi," kata Ali.
Ali percaya bahwa target yang diberikan pada tahun 2030 bakal terlaksana. Selain itu, Pemprov harus mulai mencari sumber alternatif air baku, yang di mana saat ini katanya, 82 persen kebutuhan air Jakarta berasal dari Waduk Jatiluhur, sisanya 16 persen beli dari Tangerang. Faktor lain yang tak kalah penting, yakni perawatan terhadap jaringan air bersih tersebut, termasuk persoalan kebocoran baik administratif maupun teknis.
"Kebocoran teknis dengan perbaikan penggantian pipa yang sudah tua-tua karena lama pipanya itu, kebocoran administratif tadi, pencurian air dan sebagainya ya itu harus dikendalikan," pungkasnya.
(azh/azh)