Tekad etnik Tionghoa untuk terus menerus bergulat dan berproses menjadi bagian utuh dari bangsa Indonesia patut diapresiasi. Apalagi pergulatan dan proses menuju keindonesiaan itu tetap berlangsung di tengah munculnya ajakan dari Republik Rakyat China (RRC) agar orang Tionghoa di manapun berada mengingat jati diri mereka sebagai bagian dari 'keluarga besar'.
"Bukti nyata dari pergulatan orang-orang Tionghoa dalam mengarungi proyek menjadi Indonesia itu dapat dilihat dalam berbagai partisipasi kehidupan berbangsa yang telah dijalankan oleh komunitas Tionghoa di Nusantara, baik pada masa lalu maupun di era kontemporer. Di antara berbagai komunitas Tionghoa yang turut berpartisipasi dalam proyek di atas, terdapat pula komunitas Tionghoa Muslim," ujar pengajar Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto, dalam keterangannya, Senin (22/4/2024).
Hal itu dikatakan Johanes dalam sebuah forum diskusi bertajuk "Tionghoa dan Dakwah Islam di Indonesia: Masa Lalu dan Kekinian" yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI), (20/4).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Johanes yang juga Ketua FSI ini mengatakan peran yang dimainkan oleh para pendakwah Muslim Tionghoa di Masjid Lautze hanya merupakan sebuah contoh kecil dari partisipasi Tionghoa Muslim dalam melakukan dakwah Islam. Menurutnya, sebuah potret yang lebih lengkap pernah sebelumnya diperkenalkan oleh Hew Wai Weng, seorang pakar Tionghoa Indonesia negeri jiran, Malaysia.
Dalam sebuah buku berjudul Chinese Ways of Being Muslims: Negotiating Ethnicity and Religiosity in Indonesia, Hew memaparkan peran orang-orang Tionghoa Muslim dalam menyebarkan agama Islam kepada non-Muslim, sambil secara bersamaan berupaya membangun citra positif etnik Tionghoa di hadapan saudara-saudara sebangsa mereka, masyarakat Indonesia.
Para Tionghoa Muslim tersebut antara lain membangun berbagai masjid yang mengandung ciri arsitektur Tionghoa, yang menurut pandangan Hew, berperan dalam menciptakan ruang kosmopolitan pada tataran lokal. Di ruang itulah orang-orang dari berbagai etnik, baik Muslim ataupun non-Muslim, berinteraksi. Dalam penuturan Hew, para mubaligh Tionghoa juga turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang memperlihatkan ekspresi Islam yang beragam.
Melaluinya, para mubaligh Tionghoa memainkan seperangkat peran yang saling berkaitan. Pada satu sisi, mereka memopulerkan Islam sebagai sebuah agama yang berkarakter kosmopolitan dan lintas etnik. Namun pada sisi lain, mereka juga mempromosikan pandangan bahwa etnik Tionghoa bersifat inklusif.
Dalam penilaian Johanes, partisipasi Tionghoa Muslim dalam dakwah Islam sebagai digambarkan oleh Hew di atas memiliki peran yang sangat penting bagi upaya memahami etnik Tionghoa di Indonesia.
"Keberadaan para Mubaligh maupun mualaf Tionghoa, baik di Masjid Lautze maupun di berbagai tempat lainnya di Indonesia, telah menjadi salah satu contoh nyata yang memperlihatkan kemampuan adaptasi Tionghoa dengan budaya dan masyarakat Indonesia dari berbagai etnik lainnya. Kemampuan adaptasi ini terlihat dari fakta bahwa Tionghoa pun bisa saja memeluk agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia lainnya, bahkan agama dari mayoritas saudara sebangsa mereka," tutur pria yang sehari-hari mengajar di Program Magister Ilmu Komunikasi UPH itu.
Menurutnya, proses adaptasi di atas menjadikan masyarakat Tionghoa Muslim sebagai sebuah kelompok masyarakat yang unik, dengan kharakteristik unik yang tak lagi dapat dijumpai di daratan Tiongkok. Dengan kata lain, para Tionghoa Muslim yang diceritakan oleh para penulis di atas, sama seperti masyarakat Tionghoa Indonesia yang lain, adalah bagian dari bangsa Indonesia.
Keterangan di atas seolah melengkapi pandangan yang diungkapkan oleh Saiful Hakam, seorang peneliti pada Pusat Penelitian Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejarawan lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) itu menilai keputusan sebagian masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia untuk memeluk agama Islam merupakan salah satu dari sekian banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana kelompok etnik ini telah dan sedang terus menerus bergulat untuk menjadi bangsa Indonesia seutuhnya.
Proses pergulatan menjadi Indonesia itu telah berlangsung sejak masa lampau, termasuk di sepanjang era pemerintahan rezim Orde Baru (Orba), ketika negara memberlakukan pembatasan terhadap perayaan identitas dan budaya Tionghoa. Namun proses pergulatan itu tetap berlangsung pada masa kini, masa di mana masyarakat etnik Tionghoa memperoleh kebebasan mengekspresikan identitas dan budaya mereka, seiring dengan makin menguatnya atmosfir demokrasi di negeri ini.
Sebagai sejarawan, Hakam menempatkan proses perpindahan agama di kalangan orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam konteks kegalauan dan kebingungan mereka mengenai bagaimana bertransformasi menjadi bangsa Indonesia yang utuh pasca berdirinya negara Republik Indonesia, tepatnya sejak sekitar tahun 1950-an. Bagi sementara tokoh Tionghoa yang hidup antara periode awal kemerdekaan Indonesia hingga sekitar tahun 1970-an, menjadi Muslim dianggap sebagai jawaban bagi pertanyaan mengenai bagaimana menjadi bangsa Indonesia secara utuh.
Namun dalam pandangan Hakam, terdapat perbedaan yang kontras antara situasi pada masa lalu, khususnya pada zaman pemerintahan Orba dengan situasi di era sekarang ini.
"Pada zaman Orba, budaya dan identitas Tionghoa dilarang. Oleh karenanya orang Tionghoa yang memeluk agama Islam harus melepaskan dan meninggalkan ketionghoaan mereka," tutur pria yang juga menjadi dosen tidak tetap pada Program Studi Bahasa Mandarin dan Kebudayaan Tiongkok Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) itu. "Sedangkan pada masa kini, Tionghoa dapat menjadi Muslim walau tetap mempertahankan budaya dan identitas Tionghoanya," ungkapnya.
Memang, kisah mengenai bagaimana orang Tionghoa di Indonesia menjadi seorang Muslim sambil tetap mempertahankan identitas dan budaya etnik mereka merupakan sebuah karakteristik yang menjadi pembeda antara Tionghoa Muslim di era kekinian dengan pendahulu mereka pada masa yang lampau. Kehadiran masyarakat Muslim yang tetap mempertahankan ketionghoaan ini dapat ditemui di berbagai komunitas, salah satunya adalah komunitas Tionghoa Muslim di Masjid Lautze, Jakarta.
Sebagaimana diceritakan oleh Audhiandra Nur Ratri Okviosa, seorang alumni Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH), nuansa ketionghoaan di masjid tersebut bukan hanya hadir dalam bentuk arsitektur bergaya Tionghoa. Namun bahkan para pemimpin Muslim berlatar belakang etnik Tionghoa yang menjalankan kegiatan dakwah mereka di sana tetap membiarkan para umat, khususnya mereka yang baru saja memeluk agama Islam, untuk merasakan aroma budaya Tionghoa sambil mempelajari agama Islam.
"Tujuannya adalah agar para mualaf merasa nyaman dalam mempelajari agama baru mereka," pungkas wanita yang baru saja mempertahankan tesis magister dengan tema inkulturasi dan dakwah di kalangan mualaf berlatar belakang etnik Tionghoa itu.
Simak Video 'Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa di PBTY 2024':