Layar tancap pernah menjadi hiburan andalan masyarakat di tahun 1970-an. Kala itu, layar tancap menjadi alternatif masyarakat untuk menonton film dengan harga yang lebih murah, bahkan gratis.
Suasana pemutaran film di layar tancap juga berbeda dengan bioskop masa kini. Dengan format layar besar terbentang pada dua tiang yang lalu ditancapkan ke tanah, proyektor seluloid kemudian memancarkan frame demi frame film yang berputar bergantian di layar tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilakukan di ruang terbuka yang umumnya lapangan besar atau halaman rumah, layar tancap menawarkan kebebasan penonton untuk datang kapan saja sepanjang pemutaran film. Selain itu, penonton juga bebas bercengkrama dengan sekitar, serta melihat langsung alat yang digunakan untuk memutar film. Tak lupa, pemutaran layar tancap juga turut diramaikan dengan pedagang makanan.
Seiring berjalannya waktu, eksistensi layar tancap seakan redup dimakan waktu. Adanya bioskop modern, hingga layanan streaming di ponsel mengurangi permintaan masyarakat terhadap adanya pertunjukan layar tancap layaknya 4-5 dekade yang lalu.
Meski layar tancap tak sejaya sediakala, ada saja orang-orang yang setia menggemarinya. Salah satunya adalah Nur Iyan. Saat ini, ia membuka usaha persewaan film seluloid 35 milimeter beserta alat-alat untuk pemutaran film layar tancap.
Kecintaan Iyan pada layar tancap dimulai sejak ia masih remaja. Iyan remaja dan kawan-kawannya kerap berjalan kaki jauh-jauh demi bisa menonton pertunjukan layar tancap. Sejak itu, Iyan semakin menggemari film dan berniat mengoleksi berbagai roll film seluloid.
Niatan Iyan mengoleksi film pun benar-benar dilakoninya. Sembari bekerja sebagai supir angkot di tahun 1989 hingga 1991, Iyan mengoleksi film 16 milimeter untuk ditonton bersama keluarga di rumah. Lambat laun, koleksi film 16 milimeter Iyan terus bertambah hingga 50 judul.
Setelah membeli proyektor film 35 milimeter di tahun 2004, Iyan pun mulai fokus mengoleksi film seluloid dengan ukuran sama. Berbagai genre film dikoleksinya, mulai dari romansa, komedi, laga, horor, drama, dan lain-lain. Tak hanya film Indonesia, film-film mancanegara pun ia tambahkan ke gudang filmnya.
Kini, koleksi film seluloid 35 milimeter Iyan telah mencapai 450 judul. Film-film ini tentu tidak untuk ia nikmati sendiri, melainkan juga untuk disewakan beserta dengan alat-alat untuk layar tancap.
Iyan mengaku, meski layar tancap tak sepopuler zaman ia remaja, pangsa pasarnya masih ada-ada saja. Dalam satu bulan, Iyan bisa menyewakan satu set layar tancap sebanyak 4-5 kali. Klien Iyan biasanya menyewa layar tancap untuk pernikahan, khitanan, ulang tahun, atau untuk nostalgia film jadul. Harga yang dipatok Iyan pun bervariasi, sesuai dengan kebutuhan penyewa.
"Kalau harga film itu kita nyewain ke orang-orang ya bervariasi ya. Kalau film India agak mahal sewanya. Bisa ada yang 300 ribu per judul, ada yang 400 ribu per judul. Satu set (dengan proyektor), sekitar bisa 4 juta, 5 jutaan," jelas Iyan.
Harga yang dipatok Iyan untuk sewa film dan alat layar tancap tentu bukan tanpa alasan. Menurut Iyan, tidak mudah untuk mendapatkan dan merawat film seluloid serta alat-alatnya.
Iyan menuturkan, proyektor untuk layar tancap perlu diperiksa secara berkala. Setelah tiga kali tayang, Iyan harus memeriksa oli mesin proyektor. Sebab, layaknya motor, jika oli mesinnya sudah habis, ia mesti diganti dengan oli baru.
Untuk berburu film seluloid, Iyan mesti pandai-pandai menjalin relasi dengan komunitas. Sebab, beberapa film sudah masuk dalam kategori langka, sehingga salinannya sulit didapatkan. Selain membeli film dari kawan dalam komunitas, Iyan juga sempat membeli film seluloid bekas bioskop yang sudah tidak beroperasi.
Perawatan film seluloid juga bukan persoalan sederhana. Film yang sudah selesai disewa tidak serta merta langsung masuk ke gudang film Iyan. Ia mesti digulung terlebih dahulu agar film tidak terlalu kencang.
Soal penyimpanan film juga tidak boleh sembarangan. Film tidak boleh diletakkan di lantai dan mesti diberi alas. Selain itu, film yang sudah kadaluarsa wajib dipisah dengan film yang masih dalam kondisi baik. Sebab, film kadaluarsa akan berbau asam dan bisa merusak film-film di sekitarnya.
"(Film di gudang ini) kayaknya di masih 10 tahun lagi, lebih, masih bertahan. Masa kadaluarsanya ada. Film-film jadul, (kalau) masanya udah habis, bau asam dia. Dia film melintir, bau asam, lama-lama dia jadi air, tintanya, seperti itu. Udah nggak bisa digunakan lagi. Kalau film udah melintir, udah bau asam, kita pisahin, jangan dicampurin. Bisa 'nular'," jelas Iyan.
Iyan menyadari bahwa merawat dan melestarikan layar tancap memang tidak mudah. Namun, Iyan mengaku senang-senang saja menjalaninya. Menurut Iyan, kecintaannya pada layar tancap membuatnya rela melakukan apa saja.
"Ya emang gitu sih, karena saya hobi layar tancap, saya mendarah daging layar tancap, apa pun ini ya saya lakukan buat layar tancap," aku Iyan.
Belum puas dengan 450 judul film seluloid, Iyan masih berambisi menambah koleksinya. Paling tidak, Iyan ingin mengoleksi 250 judul lagi. Iyan berharap, dengan menambah koleksinya, semakin banyak opsi tontonan yang bisa diputar untuk jasa persewaan layar tancapnya.
Iyan juga ingin agar semakin banyak orang yang mengenal dan mencintai layar tancap layaknya Iyan mencintai pertunjukan sinema rakyat ini. Bagi Iyan, yang terpenting adalah mempertahankan eksistensi layar tancap agar tak hilang dimakan waktu.
"Selama layar masih mengembang, harapan saya sih, para penggemar film, para simpatisan film, yang hobi layar tancap, semoga layar tancap ini akan berjaya terus," tutur Iyan.
(nel/vys)