Seperti hari-hari biasanya, suasana rumah Matrojih selalu ramai dengan suara tempaan kayu. Bunyi-bunyian gerinda, dan palu bertemu kikir menjadi tanda bahwa Matrojih tengah membuat karya. Seperti halnya siang itu, pria kelahiran 1969 ini sedang asyik menempa dan memahat kayu ditemani putranya, Abid, yang masih berusia 11 tahun.
Oleh warga sekitar, Matrojih dikenal sebagai pembuat senjata tradisional dari Betawai. Ia adalah sang empu golok yang telah berkarya sejak 1986. Matrojih adalah dan satu dari sedikit pengrajin golok Betawi yang tersisa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski dia bukan orang sembarangan, Matrojih adalah pribadi yang jenaka. Kepada tim Sosok detikcom, ia pun membuat sebuah lelucon saat dirinya tengah asik memahat sebilah keris berukuran mini. Ia pun kemudian menarik gagang keris dengan tangan kanannya.
"Nih, pegang. Bahaya gimana? Orang ini korek," ujar Ojih yang disusul gelak tawa.
Ternyata, benda yang ia pegang bukan senjata, melainkan sebuah korek api yang dimodifikasi bentuknya. Selain keris yang ternyata mancis, Matrojih juga membuat pipa rokok berbentuk keris. Lagi-lagi tampilannya menipu. Si keris nampak seperti senjata sungguhan, namun di bagian gagang terdapat bolong untuk menaruh sepuntung rokok.
Inilah proyek sampingan Matrojih, membuat 'senjata tajam prank' untuk souvenir. Engkong Ojih, begitu ia biasa disapa, pada dasarnya adalah pengrajin golok Betawi. Ia dikenal mahir membuat tiga jenis golok: Sorenan, Gablogan, dan golok sembelih. Golok Sorenan umumnya dipakai oleh para jawara atau kesenian Betawi, golok Gablogan untuk berkebun dan bercocok tanam, dan golok sembelih untuk menjagal hewan kurban.
Karya golok pertama Ojih adalah jenis golok Sorenan. Golok istimewa ini memiliki panjang 29 cm. Matrojih mengaku, butuh waktu satu tahun lamanya untuk dirampungkan. Bilahnya dibuat pada 1985, lalu gagang dan sarungnya baru tuntas pada 1986.
Matrojih menjelaskan, keistimewaan golok yang dipegangnya itu bukan hanya karena ukuran serta buah karya perdananya. Lebih jauh ia mengatakan, golok Sorenan itu dibuat dari bahan-bahan mahal nan langka.
Sejak menerima pesanan golok tahun 1986, Ojih memastikan bahan baku golok buatannya berkualitas baik. Bilah golok Ojih terbuat dari besi galvanis. Sedangkan gagang dan sarungnya terbentuk dari kayu atau tanduk kerbau.
Adapun kayu yang digunakan antara lain kayu sonokembang, kayu jati, kayu rambutan, kayu durian, dan kayu sonokeling. Sementara itu, bahan baku yang paling mahal adalah tanduk kerbau.
Kesempurnaan produk adalah prinsip Matrojih yang tak bisa ditawar. Baginya, setiap golok mesti dibuat dengan hati-hati. Sebab, golok punya fungsi mulia. Ia akan digunakan oleh orang lain untuk berbagai keperluan, sehingga harus dipastikan bahwa golok akan nyaman dipakai oleh calon pemiliknya.
"Ada beberapa tokoh sesepuh yang mengatakan ada golok galak, ada golok adem. (Misalnya) saya punya golok, saya sendiri kebacok apa kepotong gitu, itu udah pasti, itu golok galak sama pembuatnya, apalagi sama orang lain. Karena kita buatnya udah, 'Ah, udah! Yang penting jadi buat orang!'" jelas Ojih di program Sosok, detikcom.
"Kesempurnaan benda, bukan hanya utuh kelihatannya manis, tapi kenyamanan dipakai, dibuat jalan, apalagi dia buat nyembelih, itu fatal," lanjutnya.
Oleh karenanya, pembuatan golok tak bisa diburu-buru. Ojih memperkirakan, satu buah golok bisa selesai antara dua hari hingga satu minggu tergantung ketersediaan bahan baku.
Ojih mengaku, membuat golok dari tanduk butuh usaha dan waktu ekstra. Sebab, tanduk mesti di-press, dibakar, lalu didinginkan beberapa kali hingga sesuai dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan. Panjang prosesnya tak bisa dipersingkat, ia mesti diikuti apa adanya.
"Kita nge-press, bakar, nge-press, dia harus dingin dengan alam, nggak boleh dipaksa harus disiram. Karena kenapa? Nanti setelah jadi, dia memuai sendiri, karena kepaksa untuk dingin," terang Ojih.
Lewat proses membuat golok, Ojih mengaku belajar tentang filosofi hidup. Bagi Ojih, membuat golok adalah layaknya menjalani hidup itu sendiri, harus diikuti naik turunnya dan tak bisa dipaksakan.
"Filosofi, itu. Misalnya kita kerja, lagi nggak enak kerja ya nggak usah kerja. Karena nanti timbulnya kalau dibuat untuk kegiatan penyembelihan, buat jawara, itu golok jadi bala (kepada) si pemakai, itu. Jadi, biar dia, si pemakai juga nyaman, si pembuat juga enak, jadi nantinya si pemakai atau pengguna golok ini nggak merasa risih atau gimana, nggak," tutur Ojih.
Satu buah golok karya Ojih dipatok mulai 450 ribu Rupiah. Harga tersebut umumnya berlaku untuk golok dengan gagang dan sarung berbahan kayu. Sedangkan golok tanduk, harganya berkisar 1 juta hingga 10 juta Rupiah.
Beberapa kali Ojih menemui pelanggan yang menawar harga goloknya. Ia mengaku tak keberatan, tawar menawar adalah hal biasa dalam dunia usaha. Namun, Ojih akan dengan sopan menolaknya. Sebab, ia berprinsip tidak akan menurunkan kualitas demi harga yang miring.
Kualitas artistik Ojih juga dibuktikan dengan karya golok raksasa yang ia buat tahun 2019. Kala itu, ia membuat golok Sorenan berukuran 4,5 meter dalam rangka Festival Palang Pintu Kemang. Kini, golok raksasa yang diberi nama Si Rajut itu dipertontonkan di museum Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Tiga puluh delapan tahun menempa dan mengasah golok berkualitas, cerita tentang sosok Engkong Ojih tersebar dari mulut ke mulut. Tak perlu banyak promosi, rezeki dari pelanggan berdatangan dengan sendirinya.
Kini, Ojih sibuk mempersiapkan pesanan golok sembelih untuk Idul Adha 2024. Selain itu, ia juga masih menerima pesanan untuk souvenir-souvenir seperti pipa rokok, gelang, dan korek api.
(nel/vys)