Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan mahasiswa bernama Albert Ola Masang Setiawan Muda yang meminta warga dapat mengajukan gugatan pembubaran partai politik. MK menegaskan hanya pemerintah yang dapat mengajukan permohonan pembubaran partai.
Sidang putusan perkara nomor 16/PUU-XXII/2024 digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Rabu (20/3/2024). Sidang dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 68 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2023 tentang MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'pemohon adalah pemerintah atau perorangan warga negara Indonesia'. Pemohon menyebut pasal yang ada saat ini membatasi permohonan pembubaran partai politik hanya dapat diajukan oleh pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemohon merasa dirugikan pasal tersebut karena tidak bisa mengajukan pembubaran partai-partai yang anggotanya terlibat kasus korupsi. Pemohon merasa pasal itu mengurangi kepastian dirinya terlindungi dari ancaman korupsi saat anggota partai politik yang korup duduk di jabatan publik lewat Pemilu.
Hakim MK pun memberikan pertimbangan terhadap permohonan pemohon. MK mengatakan tidak dimungkinkan perseorangan atau warga negara untuk mengajukan diri sebagai Pemohon dalam pembubaran partai politik.
"Telah jelas dan tegas bahwa Mahkamah telah berpendirian kata 'Pemerintah' pada Pasal 68 ayat (1) UU MK secara expressis verbis memberikan batasan subjek hukum yang dapat mengajukan pembubaran Partai Politik di MK adalah Pemerintah," kata Suhartoyo.
"Terlebih, baik dalam norma Pasal 68 ayat (1) UU MK maupun dalam Penjelasannya, yang dimaksud Pemerintah adalah 'Pemerintah Pusat'. Oleh karena itu, hal tersebut menegaskan subjek hukum yang dapat mengajukan diri sebagai Pemohon dalam pembubaran Partai Politik adalah Pemerintah, in casu Pemerintah Pusat," sambungnya.
MK juga menyatakan belum mendapatkan alasan fundamental untuk mengubah pendiriannya sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011.
"Maka pertimbangan hukum Putusan tersebut secara mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum dalam menjawab isu konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo," kata Suhartoyo.
MK mengatakan ketentuan norma Pasal 68 ayat (1) UU MK tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang didalilkan Pemohon. MK pun menolak permohonan pemohon.
"Menolak permohonan Pemohon untuk semuanya," ujar Suhartoyo.