Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bicara mengenai peran Indonesia dalam mengupayakan perdamaian di Laut China Selatan (LCS). Hadi mengatakan untuk menangani masalah LCS ini diperlukan kehati-hatian.
"Dalam kerangka ASEAN, dialog dan kerja sama diwujudkan melalui upaya penyusunan dokumen Code of Conduct on South China Sea (COC) antara ASEAN dan RRT. COC ditujukan untuk mengelola tata perilaku negara di LCS guna menghindarkan terjadinya insiden dan sekaligus mengelola insiden, apabila terjadi," ujar Hadi saat menjadi keynote speaker dalam diskusi 'menjaga kedaulatan dan mencari kawan di Laut China Selatan' yang disiarkan secara daring, Selasa (19/3/2024).
Hadi mengatakan proses perundingan COC melalui forum ASEAN-China Joint Working Group on COC sempat berjalan lambat. Namun, atas inisiatif dan dorongan Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada 2023, ASEAN dan RRT berhasil menyepakati percepatan perundingan COC.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita menargetkan COC dapat difinalisasi dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu pada tahun 2025. Kita semua berharap COC dapat menjadi sebuah dokumen yang efektif, substantif, dan actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di LCS," katanya.
Terkait pengamanan Laut Natuna, kata Hadi, pemerintah juga telah melakukan penguatan. Hal yang dilakukan adalah memperkuat alutsista.
"Dalam merespons permasalahan LCS di bidang pertahanan dan keamanan, pemerintah telah mendorong program Major Project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan peningkatan Sarana dan Prasarana Satuan Terintegrasi TNI, sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024," ucapnya.
Menurut Hadi, masalah LCS ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, konflik ini melibatkan banyak pihak.
"Kita dapat melihat permasalahan di LCS melibatkan banyak pihak. Perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang. Salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama," katanya.
"RRT merupakan mitra komprehensif strategis bagi Indonesia dan ASEAN, yang memiliki peran sentral dalam perdamaian dan stabilitas kawasan, dan penting untuk terus kita engage di semua lini, baik melalui dialog dan kerjasama praktis di Laut China Selatan," imbuhnya.
Selanjutnya
Tentang Konflik LCS
Untuk diketahui, sengketa wilayah yang terjadi di LCS ini berawal ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berargumen bahwa wilayah LCS merupakan wilayah kedaulatannya berdasarkan klaim hak sejarah. Untuk memperkuat klaimnya, RRT membangun pulau buatan dengan reklamasi fitur-fitur maritim di LCS yang dilengkapi dengan pangkalan militer dan lapangan udara.
RRT melalui Coast Guard dan milisi nelayan sipil-nya juga melakukan penghalauan terhadap kapal nelayan negara lain
untuk menangkap ikan di LCS. Langkah tersebut tentu menimbulkan protes keras dari negara claimant lainnya, terutama dari negara Filipina.
Filipina mengangkat kasus klaim RRT tersebut ke Mahkamah Arbitrase Internasional, atau Permanent Court of Arbitration/PCA, di Den Haag, Belanda. Pada 12 Juli 2016, PCA mengeluarkan putusannya bahwa klaim 9-dashed lines RRT tidak memiliki landasan hukum internasional dan fitur-fitur maritim atau pulau buatan RRT di LCS tidak berhak atas wilayah teritorial 12 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil, karena tidak memenuhi prasyarat yang tertuang dalam UNCLOS 1982.
Atas putusan PCA itu, RRT tidak menerima, menurutnya putusan melanggar UNCLOS 1982, dan hak berdaulat RRT di LCS. Hal ini mengakibatkan sampai saat ini sengketa masih belum menemui titik terang.
Terbaru, pada 2023, RRT kembali secara unilateral mengeluarkan peta baru. Peta standar RRT menambahkan 1 garis putus-putus menjadi 10-dashed lines yang mengklaim seluruh wilayah LCS. Di beberapa bagian, garis putus-putus tersebut bahkan tumpang-tindih dengan wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.
Peta RRT ini mengundang protes keras dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara non-claimant secara konsisten menyampaikan keberatan karena peta tersebut tidak berdasarkan pada UNCLOS 1982.