Komnas HAM Soroti Penerapan UU TPKS Belum Maksimal, Begini Perjelasannya

Komnas HAM Soroti Penerapan UU TPKS Belum Maksimal, Begini Perjelasannya

Rumondang Naibaho - detikNews
Jumat, 08 Mar 2024 21:11 WIB
Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah bersama Komnas Perempuan, KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2024).
Komisioner Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan Komisi Nasional Disabilitas (Rumondang Naibaho/detikcom)
Jakarta -

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhitung hampir dua tahun disahkan. Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai upaya melindungi perempuan dari ancaman kekerasan seksual masih belum maksimal.

"Hampir setiap hari kita melihat, mendengar, dan membaca di berbagai media, ada anak yang mengalami kekerasan seksual, ada disabilitas yang mengalami kekerasan seksual," kata Anis dalam jumpa pers bersama Komnas Perempuan, KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2024).

Komnas HAM telah melakukan refleksi perihal penerapan UU TPKS setelah disahkan pada 9 Mei 2022. Menurut Anis, terdapat sejumlah hambatan, pertama terkait dengan perspektif aparat penegak hukum (APH) dan upaya penegakan hukumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi dalam banyak kesempatan aparat penegak hukum itu selalu menyatakan bahwa karena aturan turunan Undang-Undang TPKS belum tersedia, maka kemudian itu selalu menjadi landasan kasus-kasus TPKS itu diproses menggunakan ketentuan lain. Misalnya KUHP, UU Perlindungan Anak dan undang-undang lain yang relevan," terangnya.

Padahal, lanjut dia, perspektif lain tersebut belum efektif digunakan, selama aturan turunan belum tersedia. Menurutnya, hal itu menjadi hambatan cukup besar dalam pelaksanaan UU TPKS.

ADVERTISEMENT

"Karena dalam studi barometer gender itu memperlihatkan 57% kasus TPKS diselesaikan dengan menggunakan restorative justice. Padahal jelas pada Pasal 23 UU TPKS, bahwa kasus TPKS itu harus diselesaikan dengan absolute judicial mechanism atau pendekatan hukum," jelasnya.

Ditambah, ujar Anis, dalam proses pembuktian pun kerap tak maksimal. Alasannya sering kali perihal keterangan ahli ataupun pembuktian ilmiah yang sulit didapat.

"Beberapa kasus yang pernah dipantau oleh Komnas HAM (APH) itu mengatakan 'Kalau kami tidak ada bukti yang cukup, kami tidak bisa bekerja'. Padahal di situlah harusnya bagian dari tugas utama aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk memastikan bagaimana pembuktian kasus TPKS itu bisa dilakukan dengan optimal," ujarnya.

Di sisi lain, Anis mengatakan masih cukup banyak penolakan laporan yang dialami para korban. Menurutnya, hal itu justru membuat pukulan balik bagi korban.

"Mereka yang berani melaporkan menjadi surut semangatnya untuk mencari keadilan. Karena dalam beberapa kasus justru korban mengalami kriminalisasi," ucapnya.

Lebih jauh, Anis mengatakan aparat belum maksimal dalam menerapkan pasal-pasal pidana dalam UU TPKS. Hal itu diperparah dengan banyaknya kasus putusan pengadilan yang tidak mencantumkan restitusi kepada korban.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner KPAI, Dian Sasmita, mengatakan pihaknya menerima sebanyak 389 kasus kekerasan seksual sepanjang 2023. Dari jumlah itu, menurut dia, hambatan paling banyak terjadi pada tahap penyidikan di kepolisian.

"Pengetahuan dari para penegak hukum itu masih sangat minim terkait dengan (UU) TPKS. Sehingga ada laporan-laporan kekerasan seksual terhentikan, ada hambatan pembuktian, kurang buktilah, kemudian kesaksian anak tidak bisa diproses," jelas Dian.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads