Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menyebut langkah antisipasi yang tepat diperlukan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi nasional sesuai target yang telah ditetapkan pemerintah. Apalagi, Indonesia baru saja menyelenggarakan pemilu.
"Pesta demokrasi tentu memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik. Pada saat yang sama kita juga tidak bisa menutup mata beberapa negara sudah mulai masuk pada masa resesi," kata Rerie, dalam keterangannya, Rabu (21/2/2024).
"Kita harus mampu mendeteksi sejumlah dampak dan langkah antisipasinya ke depan dengan baik," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut ia sampaikan saat membuka diskusi daring bertema 'Pemilu 2024 dan Masa Depan Perekonomian Indonesia' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12. Menurut Rerie, pelaksanaan pemilu berpengaruh terhadap sejumlah aspek perekonomian nasional di tengah perlambatan ekonomi yang terjadi di sejumlah negara.
"Pada saat yang sama, juga terjadi gagal panen akibat banjir di sejumlah daerah. Dampak sosial yang terjadi akibat hal itu harus segera diatasi," ujar Rerie.
Rerie berpendapat langkah antisipasi terhadap sejumlah dampak bencana tersebut harus segera dilakukan. Selain itu, daya tahan belanja pasca-pemilu harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
"Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan kebijakan yang tepat dalam menjawab sejumlah tantangan itu untuk memastikan pertumbuhan ekonomi nasional sesuai dengan target yang telah ditentukan," tegas Rerie.
Dalam kesempatan tersebut, CEO SAIAC Shanti Shamdasani mengungkapkan dampak ekonomi global yang melemah juga sudah mengimbas ke negara-negara ASEAN. Thailand, misalnya, sudah tidak mencapai pertumbuhan GDP yang ditargetkan.
Ekonomi global, menurut Shanti, sangat dipengaruhi oleh aspek perubahan iklim dan krisis geopolitik di sejumlah kawasan.
"Perekonomian Indonesia harus mampu tumbuh 6%-7% untuk mengantisipasi gejolak pada ekonomi global, dampak perubahan iklim dan potensi bencana alam," ungkap Shanti.
Shanti menyarankan Indonesia fokus pada pengembangan domestik dalam upaya mendorong laju perekonomian, serta stabilitas harga komoditas harus mampu dijaga dengan pendekatan yang tepat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal berharap siapa pun yang memimpin Indonesia kelak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dengan sejumlah koreksi pada kebijakan yang sudah berjalan.
Oleh karenanya, diperlukan kekuatan penyeimbang di parlemen dalam proses perbaikan kebijakan yang diperlukan.
"Tantangan pemerintahan mendatang adalah terkait akselerasi ekonomi, pemerataan ekonomi dan perbaikan kebijakan fiskal," kata Faisal.
Menurut Faisal, upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi 6%-7%, harus melalui kebijakan yang tidak business as usual. Ketika kondisi ekosistem perekonomian global dan nasional saat ini kurang mendukung, menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tantangan yang tidak mudah.
Faisal menambahkan pada pengalaman di masa lalu, biasanya pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai Indonesia selalu dibantu oleh booming kenaikan harga komoditas.
Ia berpendapat perlunya kewaspadaan terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti China yang melambat. Kondisi tersebut menyebabkan surplus perdagangan yang dinikmati Indonesia saat ini terus tergerus.
Faisal menilai kebijakan hilirisasi yang diinisiasi pemerintah saat ini akan mendorong perkembangan industri manufaktur di tanah air. Meski begitu, dia mengingatkan, penerapan hilirisasi di sejumlah sektor harus diperhatikan dengan serius aspek lingkungan, sosial dan tata kelolanya.
Sebagai informasi, diskusi yang dimoderatori oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Radityo Fajar Arianto ini menghadirkan CEO S. ASEAN International Advocacy & Consultancy/SAIAC Shanti Shamdasani, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal dan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Guru Besar Ilmu Perbankan dan Keuangan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof Rofikoh Rokhim sebagai penanggap.
(ncm/ega)