Medan - Pemerintah Indonesia didesak segera meratifikasi dua produk hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai anti perdagangan anak. Instrumen hukum ini perlu segera menjadi bagian dari hukum nasional di Indonesia untuk mengeleminir berbagai kasus perdagangan maupun perbudakan anak. Kedua produk hukum PBB itu masing-masing Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children atau biasa disebut Palermo Protocol. "Sebenarnya Indonesia sudah menandatangani kedua protokol itu, namun sampai sekarang belum melakukan ratifikasi. Kita tidak tahu apa alasan sebenarnya," kata Ahmad Taufan Damanik, Ketua Yayasan KKSP (Pusat Informasi dan Pendidikan Hak Anak) kepada wartawan di Hotel Semarak Medan, Selasa (12/12/2006). Disebutkan Ahmad Taufan, pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang di dalam salah satu pasalnya mengatur perlindungan anak-anak dari kemungkinan diperdagangkan. Sebagai negara peserta, Indonesia berkewajiban melakukan perlindungan dengan menyusun langkah-langkah judisial maupun administratif untuk mengkriminalisasi para pelaku. "Sayangnya, Indonesia sampai saat ini belum juga meratifikasi pengaturan tambahan khusus mengenai perdagangan anak atau Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, meski pun sudah menandatanganinya pada 24 September 2001," katanya. Indonesia juga sudah menandatangani Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, pada 12 Desember 2000, namun ini juga belum diratifikasi. "Sehingga dua instrumen hukum internasional ini belum menjadi bagian hukum nasional kita. Padahal, kedua instrumen hukum internasional ini, selain secara prinsipil melakukan kriminalisasi terhadap segala bentuk perdagangan anak, juga mengatur prosedur kewajiban negara untuk memerangi perdagangan anak. Instrumen internasional ini pun mengatur bagaimana seharusnya prosedur dan mekanisme kerja sama mau pun perjanjian multi lateral mau pun bilateral dilakukan," kata Ahmad Taufan.Menurut dia, ratifikasi ini perlu karena kasus-kasus perdagangan maupun eksploitasi anak cenderung meningkat. Baik kuantitas maupun kualitasnya. Salah satunya, pola rekrut dan pengiriman anak-anak yang dijadikan korban. Berbagai modus operandi di belakang kasus-kasus perdagangan anak biasanya terjadi untuk tujuan eksploitasi seksual. Anak-anak direkrut untuk kemudian dipekerjakan di industri seks. Modus lain menunjukkan banyak anak-anak diperdagangkan untuk tujuan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik mau pun Pembantu Rumah Tangga (PRT). "Selain itu, ditemukan juga modus lain yakni perdagangan anak dengan tujuan penjualan organ tubuh, perdagangan bayi, drug abuse, kawin kontrak, mau pun untuk keperluan tentara anak. Meski pun kasus-kasus ini secara kuantitatif lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan dua modus tujuan yang pertama disebutkan di atas, tetapi trennya dari tahun ke tahun terus meningkat," katanya.
(rul/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini